Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT yang senantiasa harus kita jaga, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945, dimana setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Namun pada kenyataannya pemenuhan hak-hak anak seringkali terabaikan karena kondisi keluarga yang tidak memungkinkan. Salah satu upaya agar semua anak Indonesia memperoleh pemenuhan hak anak adalah dengan memberi kesempatan kepada orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan atau adopsi anak.
Banyak alasan yang mendasari pasangan suami isteri melakukan adopsi anak, diantaranya karena tidak memiliki keturunan, rasa belas kasihan kepada seorang anak disebabkan orang tua si anak tidak dapat menafkahi secara layak atau karena si anak yatim piatu, bahkan ada juga yang dikarenakan unsur kepercayaan bahwa bagi pasangan yang telah lama menikah namun belum dikarunia keturunan maka dengan mengangkat anak dapat dijadikan pemancing untuk memperoleh anak kandung.
PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, menyebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Dengan demikian tujuan dari pengangkatan atau adopsi anak adalah untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial agar anak tersebut dapat berkembang dan tumbuh secara baik, sehingga apa yang diperoleh dapat mereka gunakan untuk masa depan mereka.
Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan Keputusan Pengadilan, sedangkan adopsi ilegal adalah adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua angkat dengan orang tua kandung anak.
MEKANISME PENCATATAN PENGANGKATAN ANAK
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 yang salah satunya mengatur tentang Tata Cara Pengisian Formulir Biodata Penduduk, maka seorang anak dapat didaftarkan menjadi anggota keluarga orang tua angkatnya dengan status hubungan dengan kepala keluarga adalah “lainnya”, dan nama ayah ibu kandungnya tetap tercantum dalam kolom nama ayah dan ibu. Apabila anak sudah terdaftar dalam Kartu Keluarga dan memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), selanjutnya dapat dibuatkan akta kelahiran dengan nama orang tua kandung tetap tercantum dalam akta tersebut. Hal ini untuk menjaga agar hubungan si anak tidak terputus sama sekali dengan orang tua biologisnya. Orang tua angkat kemudian dapat mengajukan permohonan pengangkatan anak sesuai mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Apabila telah terbit penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai adopsi anak tersebut, maka wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Berdasarkan laporan tersebut pejabat pencatat sipil selanjutnya membuat catatan pinggir pada kutipan akta kelahiran dan register akta kelahiran. Catatan pinggir yang dimaksud merupakan keterangan tambahan bahwa anak yang namanya tercantum dalam akta kelahiran telah diadopsi oleh orang tua angkatnya. Selanjutnya pengangkatan anak yang telah melalui proses pencatatan pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2008, maka dalam Kartu Keluarga hubungan Kepala Keluarga dengan anak angkat adalah sebagai “anak”, dengan nama orang tua kandung tetap tercantum dalam kolom ayah dan ibu.
PERMASALAHAN DALAM PENGANGKATAN ANAK
Pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak harus dilakukan melalui penetapan pengadilan, dan dinyatakan pula bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Bahkan, pada pasal 6 peraturan dimaksud disebutkan bahwa orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
Di masyarakat kita lazim terjadi pengangkatan anak tanpa melalui mekanisme penetapan pengadilan. Dengan motif pengangkatan anak seperti yang disebutkan di atas, orang tua angkat langsung memelihara, merawat, dan mengambil alih tanggung jawab sebagai orang tua tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan. Bahkan ada yang mendaftarkan anak angkatnya dalam Kartu Keluarga sebagai “anak” dengan nama ayah dan ibu angkat tercantum dalam kolom nama ayah dan ibu, dan selanjutnya si anak angkat dibuatkan akta kelahiran sebagai anak kandung orang tua angkatnya. Dengan demikian telah terjadi manipulasi data penduduk yang tentu saja bertentangan dengan Undang-undang No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya pasal 94 yang menyebutkan bahwa bagi siapa saja yang melakukan manipulasi elemen data penduduk diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,-.
Banyak pihak yang mungkin berkontribusi dalam terbitnya Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran dengan data yang tidak sesuai tersebut. Berdasar ketentuan yang ada, untuk penambahan anggota keluarga akibat peristiwa kelahiran pada Kartu Keluarga tentulah didasari oleh Surat Keterangan Lahir yang dibuat oleh pihak penolong kelahiran baik medis maupun non medis. Dalam hal ini diharapkan penerbit Surat Keterangan Lahir mencantumkan data yang sebenar-benarnya, khususnya nama orang tua si bayi. Jangan sampai tercantum nama orang tua angkat sebagai orang tua biologis si bayi.
Untuk penerbitan Akta Kelahiran anak, saat ini telah dilakukan penyederhanaan prosedur melalui Permendagri Nomor 9 Tahun 2016, dimana pemohon tidak perlu melampirkan pengantar RT dan Surat Keterangan Lahir dari Lurah dalam pengurusan akta kelahiran. Bahkan Permendagri tersebut juga mengatur apabila persyaratan surat Keterangan Lahir dari penolong kelahiran tidak ada, maka pemohon dapat mengisi Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) Data kelahiran yang diisi dan ditandatangani oleh orang tua/wali/penanggung jawab anak dengan diketahui oleh 2 (dua) orang saksi. Data pokok yang termuat dalam SPTJM antara lain : nama dan NIK, tempat dan tanggal lahir anak, urutan kelahiran anak, dan nama ibu kandung. Kebenaran data dalam SPTJM sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembuat pernyataan. Namun kemudahan dengan adanya SPTJM tersebut terkadang disalahgunakan oleh oknum dengan mengisi data yang tidak benar, khususnya pada kolom nama ibu kandung. Hal seperti inilah yang memungkinkan terjadi manipulasi data sehingga adopsi ilegalpun terlaksana.
Adalah tugas kita bersama untuk saling mengawasi, mengingatkan, dan melaporkan apabila terjadi praktek adopsi ilegal di masyarakat, karena yang paling dikhawatirkan adalah akibat dari adopsi ilegal tersebut, seperti praktek perdagangan anak, penelantaran anak, hingga kekerasan terhadap anak.
Penulis
Dini Eka Wahyuni, S. STP, MT, Kasi Kelahiran, Kematian & Pengesahan Anak Disdukcapil Kota Pontianak.
Lahir di Pontianak, 31 Desember 1978, lulusan Magister Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung ini memiliki minat pada membaca buku. Pengalaman di bidang pemerintahan diantaranya pernah menjabat sebagai Kasubag Kerja Sama dan Pertanahan Bagian Tata Pemerintahan Sekda Kota Pontianak dan Lurah pada kelurahan Sungai Jawi Dalam selama lebih kurang 3 (tiga) tahun.
Catatan : tulisan ini sudah diposting pada laman web Disdukcapil yang lama pada tanggal 15 Desember 2016 dan sudah diakses sebanyak 144 kali