Banyak kesulitan mesti ditanggulangi untuk mewujudkan tatanan sosial-ekonomi yang lebih adil di dunia ini. Dunia yang kita tempati sekarang sudah menjadi sesuatu yang multikonseptual, dengan ragam persoalan ekonomi, lingkungan, sosial, geopolitik ataupun teknologi. Potensi-potensi konflik yang dapat timbul dalam konsensus global terhadap hal-hal tersebut menimbulkan berbagai tekanan dan sengketa serta banyaknya intervensi yang dihasilkan dari kebijakan geo-ekonomi. Penting untuk memastikan bahwa kendala-kendala tersebut ditangani secara sungguh-sungguh ketika dunia menjadi lebih kompleks dan saling berhubungan. Bagaimana hal yang kita lakukan saat ini akan menjadi penting dalam lima puluh atau seratus tahun mendatang bagi cucu atau cicit kita. Masalah yang sedemikian rumit dan gawat itu menuntut pendekatan pemecahan masalah yang mengintegrasikan kesadaran diri kita dengan cara kita bertindak, serta empati dan belas kasihan kita, dengan pemahaman mengenai sistem yang sedang berperan (Goleman, 2013).
Salah satu persoalan multikonseptual yang terjadi pada saat ini adalah perubahan teknologi dan sosial dan saling terkait dalam sebuah transformasi yang cepat. Berbeda dengan manusia ekonomi yang egois, manusia sosial berupaya mengejar keinginannya sembari mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil terhadap lingkungan kolaborasi yang dihidupinya (Sudjatmiko, 2017). Perubahan teknologi selalu akan menjadi sumber stres, tetapi gelombang perubahan tersebut terus terjadi dan sekarang sebagian kita (jika tidak semua) sedang merasakannya. Arus utama transformasi teknologi ini sering diteorikan sebagai Revolusi Industri.
Jika Revolusi Industri 1.0 ditandai dengan mekanisasi produksi dan penemuan mesin uap, Revolusi Industri 2.0 ditandai dengan produksi massal dan penemuan listrik, dan Revolusi Industri 3.0 ditandai dengan internet, penggunaan elektronik dan otomasi dalam produksi, maka Revolusi Industri 4.0 ini ditandai dengan konvergensi inovasi digital, biologi, dan fisik. Proses produksi dipengaruhi penggunaan mahadata dan Internet of Things (IoT). (Klaus Schwab, 2017). Revolusi Industri 4.0 cenderung semakin membuat kabur garis batas antara manusia dan teknologi.
Berbicara tentang sebuah arus utama bernama Revolusi Industri 4.0, adalah berbicara tentang suatu sistem dengan pola-polanya. Sistem itu pada pelaksanaannya memiliki pola yang bersifat teratur yang diambil dari pendekatan pemahaman tentang manusia. Walaupun tidak selinier yang dibayangkan karena manusia itu sendiri sudah sangat kompleks. Mirip sistem dalam neokorteks otak manusia yang diwahyukan Sang Maha Segala kepada organ itu untuk dapat mempelajari banyak hal secara umum, maka hal inilah yang dapat diduplikasi ke dalam komputer. Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) adalah salah satu teknologi inti yang membentuk Revolusi Industri 4.0. AI terus melaju memasuki berbagai sisi kehidupan. AI dengan expert system (sistem pakar), fuzzy logic (logika fuzzy), neural networks (jaringan syaraf tiruan), object-oriented programming (OOP) membuat mesin mempunyai kemampuan mirip kemampuan berpikir manusia. Tidak usah jauh-jauh, untuk Indonesia sendiri persoalan yang sering dijumpai dalam problem lingkungan perkotaan adalah kemacetan dan banjir. Persoalan yang kompleks ini besar kemungkinan bisa dibantu dengan sistem yang dibangun melalui AI. Tentu kecerdasan buatan ini bukan menjadi senjata utama. Yang tetap menjadi senjata utama itu adalah kecerdasan kolektif pada sumber daya manusia itu sendiri dalam mengontrol sepak terjangnya.
Dalam perkembangan global, AI telah berkembang begitu pesat. Di sektor transportasi, AI mewujud dalam kendaraan otonom dengan sistem pengemudi virtual alias penggunaan transportasi tanpa pengemudi. Dalam bidang kesehatan, AI membantu mendiagnosis dan mencegah penyakit beserta wabah sedini mungkin. Bahkan AI melakukan pemantauan kelaparan dalam skala global. Di sektor keamanan, AI membantu mengotomatiskan deteksi dan menanggapi ancaman serangan. AI dalam pertanian memberikan pemantauan dan prediksi kesehatan tanaman dan tanah serta dampak faktor lingkungan terhadap hasil panen. Di sektor jasa keuangan, AI dimanfaatkan untuk mendeteksi penipuan, menilai kelayakan kredit, dan mengurangi biaya layanan pelanggan. Untuk pemasaran dan periklanan, AI menambang data tentang perilaku konsumen dalam menargetkan dan mempersonalisasikan konten ataupun iklan. Bahkan di bidang hukum, AI diujicobakan berupa pengadilan cerdas dengan hakim berteknologi kecerdasan.
Lansekap teknis AI telah berkembang secara signifikan dari tahun 1950 ketika Alan Turing pertama kali mengajukan pertanyaan apakah mesin bisa berpikir. Sistem AI, seperti yang dijelaskan oleh Kelompok Ahli AI (AIGO) di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, Artificial Intelligence in Society, 2019) adalah sistem berbasis mesin yang dapat berfungsi dalam serangkaian tujuan yang ditentukan manusia, membuat prediksi, rekomendasi atau keputusan yang memengaruhi lingkungan nyata atau virtual. Sistem AI terdiri dari tiga elemen utama yaitu sensor, logika operasional dan aktuator. Kekuatan utama dari sistem AI berada dalam logika operasionalnya, yaitu perumusan imajinatif matematika dan algoritmanya. Sensor mengumpulkan data mentah dari lingkungan,sedangkan aktuator bertindak untuk mengubah keadaan lingkungan. Aktuator adalah sebuah peralatan mekanis untuk menggerakkan atau mengontrol sebuah mekanisme atau sistem.
Tantangan AI adalah pada dasarnya adalah soal etika, perlindungan data pribadi, yurisprudensi, dan penerimaan universal. Mengingat tantangan ini, AIGO OECD (2019) telah mengidentifikasi prioritas utama dalam pengembangan AI yang berpusat pada manusia. Pertama, harus berkontribusi pada pertumbuhan dan kesejahteraan yang inklusif dan berkelanjutan. Kedua, harus menghormati nilai-nilai dan keadilan yang berpusat pada manusia. Ketiga, penggunaan AI dan bagaimana sistem operasinya haruslah transparan. Keempat, sistem AI harus kuat dan aman. Kelima, harus ada akuntabilitas untuk hasil prediksi AI. Tindakan semacam itu dipandang penting untuk prediksi risiko tinggi.
Beberapa prinsip utama secara etis dalam pengembangan AI menurut UNI Global Union (OECD,2019) adalah sistem AI harus dilengkapi dengan ethical black box. Kotak hitam etika seharusnya tidak hanya berisi data yang relevan untuk memastikan transparansi sistem dan akuntabilitas, tetapi juga data dan informasi yang jelas tentang pertimbangan etis yang dibangun sistem. Etika lainnya menjelaskan robot harus dirancang dan dioperasikan untuk mematuhi hukum yang ada, termasuk privasi. Larangan perlombaan senjata AI, seperti senjata otonom yang mematikan, termasuk perang siber (cyber war) juga dilarang dalam prinsip utama tersebut.
Pengembangan AI dan Guncangan Yang Dapat Terjadi
Pengembangan AI menuntut peran kunci pemerintah. Beberapa diantaranya dengan seperti apa yang disampaikan oleh Porter (OECD, 2019). Pertama, memperhatikan kondisi dari ragam faktor, seperti faktor geografi, ketersediaan tenaga ahli, tingkat pendidikan dan kemampuan penelitian. Kedua, mengidentifikasi kondisi permintaan. Beberapa negara mengidentifikasi sektor-sektor strategis untuk pengembangan AI, terutama transportasi, layanan kesehatan, dan layanan publik. Dalam layanan publik, beberapa pemerintah memastikan bahwa sistem AI memenuhi standar tertentu, misalnya akurasi atau kekokohan (robustness), melalui kebijakan pengadaan publik (public procurement policies). Ketiga, mengaitkan dengan industri terkait dan pendukung. Daya saing AI membutuhkan akses ke infrastruktur digital dan layanan, data, komputasi daya dan konektivitas broadband. Pembangunan konektivitas yang mencakup aspek fisik dan nonfisik untuk memastikan semua masyarakat termasuk di pulau terpencil mendapat keuntungan dari pengembangan AI tersebut. Keempat, mempersiapkan peta jalan pengembangan AI untuk mendorong investasi swasta atau dengan pendekatan kebijakan seperti pengaturan aplikasi AI untuk mendorong perusahaan berinovasi.
Namun dalam pengembangan AI juga harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. AI dikembangkan menggunakan algoritma untuk membaca emosi manusia. Baik disengaja atau tidak, algoritma dalam pembacaan emosi manusia ini bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang membahayakan, seperti interferensi terhadap pemilih, penargetan mikro iklan, pengembangan ide radikalisasi gaya baru, dan semakin besarnya kelas sosial prekariat yang teralienasi. Standing (2011) menjelaskan bahwa prekariat adalah mereka yang konstan berada dalam pekerjaan temporer dan penuh ketidakpastian. Gig economy yang menyertai era 4.0 akan memunculkan lebih banyak pekerjaan temporer. Orang-orang yang secara simultan bekerja multitasking dan mengalami tekanan terus menerus juga bisa menjadi prekariat. Yang perlu dibuat adalah mendorong kebijakan yang tepat agar pengembangan AI dapat menjadi pendorong percepatan pembangunan manusia dan memastikan memperhitungkan kebijakan yang komprehensif untuk menangkap situasi pra-pasar kerja, memasuki pasar kerja, dan pasca masuk pasar kerja.
Kemajuan AI juga dapat menggantikan manusia dalam mengambil keputusan penting. Hasilnya mungkin tidak mengarah hanya untuk efisiensi yang lebih besar, tetapi dimungkinkan juga terjadi “kekakuan sosial” yang lebih besar, atau meminjam istilah World Economic Forum dalam Global Risk Report 2019 sebagai Digital Panopticon. Bahkan jika dikolaborasikan dengan komputasi kuantum, dapat saja mematahkan dasar kriptografi digital yang ada saat ini. Jika sebuah data dengan pengamanan berlapis sengaja dicuri, dengan teknologi komputasi kuantum dan algoritma AI dapat memecahkan data tersebut, maka boom!! .. rahasia data akan mudahnya terbuka.
Secara internasional, di beberapa tahun terakhir, negara menggunakan teknologi untuk memicu kemarahan yang menyebabkan fragmentasi dan polarisasi pada sebuah negara. Tidak sulit membayangkan bahwa cara dengan memainkan emosi dan psikologis dapat menyebabkan kekeruhan dan gangguan diplomatik yang serius, bahkan mungkin menyebabkan adanya konsekuensi militer. Contoh kekisruhan hubungan Rusia dan Ukraina pada tahun 2014, dimana pihak Rusia menyebarkan serangan siber ke Ukraina untuk melakukan pendiskreditan tentang ketidakpuasan terhadap pimpinan angkatan bersenjata dan politik, merusak moral masyarakat dan meningkatkan desersi di antara personel militer. Vladimir Putin, Presiden Rusia yang berkuasa saat ini pernah mengatakan "the nation that leads in AI will be the ruler of the World" dengan atau kurang lebih terjemahannya “Siapapun yang berhasil menguasai AI, akan menguasai dunia”. AI sebagai teknologi dapat saja mencetus peperangan hibrida atau pola perang asimetris. Suatu negara dapat menguasai atau menghegemoni negara lain lewat teknologi, melalui kontrol atas pengetahuan. Oleh sebab itu ketahanan nasional atau landasan berpikir secara geopolitik harus menjadi fokus tersendiri.
Paradoks dan Motivasi
Begitulah paradoks dari gambaran besar sebuah perubahan dan kita perlu menghadapi kenyataan tersebut dengan pikiran terbuka. Bagi anak bangsa, mengenal risiko dan literasi sistem melalui proses belajar adalah sedikit hal yang bisa kita lakukan. AI harus dapat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercetus dalam pembukaan Undang Undang Dasar. Dalam lingkup eksternal harus dapat ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai masyarakat sipil sudah sepatutnya juga mengontrol jalannya perkembangan tersebut. Apa yang bisa kita lakukan adalah mempengaruhi para pengambil keputusan untuk memperhatikan hal-hal yang berdampak ke masa depan. Sebisa kita. Dengan fokus menatap gambaran besar dalam hal itu, kita tetap bisa memiliki motivasi untuk peduli dalam upaya membangun sistem kebangsaan yang berjalan berkesinambungan, berjangka panjang, dan menciptakan tanggung jawab antar generasi.
Seperti saran Dalai Lama untuk menanyakan kembali kepada diri kita sendiri tentang motivasi kita. Apakah ini untukku saja, atau untuk orang lain? Untuk kepentingan orang-orang tertentu, atau untuk banyak orang? Untuk saat ini atau untuk masa depan?. Serupa dengan seorang yang duduk di antara dua cermin. Ia tidak melihat hanya satu gambar dirinya saja. Tetapi ia akan melihat banyak sekali pandangan yang muncul. Itulah idenya. Melihat dari banyak sisi untuk menemukan keseimbangan yang tepat dengan solidaritas intelektual-budaya jati diri bangsa. Bukan untuk memakmurkan segelintir kaum kapitalis, melicinkan ruang gerak kaum komprador, dan memperbesar ruang kontrol pihak asing. Sebab sebuah skenario terkadang tidak selalu berakhir baik.
Dan motivasi paling agung adalah ketika engkau membaca semua itu dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Iqra’.
Pontianak, 29 Desember 2019.
Penulis
Yopie Indra Pribadi, S. Kom, M. Eng. Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pemanfaatan Data, Disdukcapil Kota Pontianak. Pernah menuntut ilmu Chief Information Officer di UGM, Yogyakarta. Memiliki minat pada membaca, IT policy, e-education, e-government, dan diskusi lintas budaya. Sedang membuat project keroyokan Islamic Trip Book.