Daulat Data Pribadi ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 23 JUNI 2021
  • 1855 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_3032987623_daulat_data_pribadi.jpeg

Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa dibalik berbagai penawaran aplikasi gratis dari perusahaan teknologi di internet dengan tagline "nyaman, mudah, bermanfaat dan menyenangkan"-nya itu, ada celah pengambilan hak perlindungan data pribadi milik kita saat terjadinya interaksi virtual (dalam jaringan dan terkadang luar jaringan)?. Sejauh mana kita menyadari dan memahami risiko tentang kemampuan perusahaan yang menyediakan aplikasi tersebut, bahwa mereka sanggup melindungi data kita dalam waktu yang lama? Sejauh mana sih kita masih mengaku berdaulat atas diri kita sendiri ketika mesin pencari, media sosial, e-commerce dan aplikasi lainnya berperan mengarahkan dan membingkai pandangan ekonomi, sosial, bahkan politik kita karena sifat direktif-instruktif-permisif nya?  Sudahkah kita menyadari bahwa informasi khas yang dimiliki oleh kita berupa karakter, angka, gambar, suara, dan simbol wajib untuk dipahami dan dikelola secara bijak, dan dilindungi dari ancaman-ancaman? Sejauh mana kita menyadari bahwa kedaulatan data pribadi belum dipahami dan mengapa perlu kita pahami?

Mungkin tidak semua kita menyadari bahwa kehidupan manusia hari ini dikontrol di dunia yang begitu data-centric. Perkembangan teknologi telah menghasilkan perubahan besar pada pola perilaku masyarakat, cara pandang dan berpikir, rantai pasok ekonomi, struktur konsumsi, bahkan psikologi yang menawarkan kultur baru. Masyarakat dunia sebagai pengguna internet berbondong-bondong memanfaatkan layanan media sosial, mesin pencari, dan e-commerce. Berlakunya prinsip free services dan free information telah membangkitkan keinginan dan minat yang besar dalam masyarakat sehingga terbentuklah masyarakat yang free-online culture. Pemanfaatan Big Data dan algoritma aplikasi platform dalam semesta virtual menjadikan tumbuh suburnya paradigma-paradigma mega-productivity, mega-competitive, mega-efficiency dan mega-mega yang lain.

The world’s most valuable resource is no longer oil, but data” (The Economist, May 2017)”. “Sumber daya paling berharga di dunia bukan lagi minyak, tetapi data”.  Jika keberadaan bahan bakar minyak di satu sisi dapat menyebabkan polusi dan konglomerasi bahkan menjadi salah satu katalis pecahnya perang militer antar negara dalam menguasai ladang minyak, maka di sisi yang lain ketersediaan minyak bertanggung jawab dalam membantu menekan angka kemiskinan dan menaikkan taraf hidup sebagian penduduk dunia. Jelas data (yang menjadi Big Data) benar-benar seperti ladang minyak baru dan membawa dampak utama pada kemanusiaan, bukan hanya bagaimana sisi gelapnya seperti genggaman tangan gurita raksasa teknologi dalam melakukan monetisasi apapun yang menjadi atensi kita dan menghilangkan kemampuan individu untuk melakukan kontrol atas data individu mereka sendiri, tetapi tentang bagaimana bahan bakar bernama data juga dapat membantu dan meningkatkan sendi-sendi kehidupan kita.

Secara gamblang Presiden Jokowi dalam Pidato Kenegaraan di Gedung Parlemen pada tanggal 16 Agustus 2019 juga mengatakan seperti apa yang dilansir The Economist. “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita dan kini data lebih berharga dari minyak, karena itu kedaulatan data harus diwujudkan dan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi”. Ada tiga poin penting dari pernyataan Jokowi tersebut, yaitu data sebagai kekayaan baru, perwujudan kedaulatan data dan perlindungan terhadap hak warga negara atas data pribadi yang dimilikinya. Kupasan tiga poin penting itu memang menjadi bahasan yang menarik. Tetapi tulisan saya berikut fokus ke perlindungan data pribadi. Kenapa? Karena data pribadi itu yang paling dekat dengan keseharian kita.

Mengapa data menjadi begitu bernilai sebagaimana hegemoni minyak selama ini? Jika teori tentang asal minyak bumi terbentuk dari jasad renik yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang sudah mati, mengendap di dasar laut dan dengan pengaruh waktu yang mencapai ribuan bahkan jutaan tahun, temperatur tinggi, dan tekanan oleh lapisan di atasnya, jasad renik berubah menjadi bintik-bintik dan gelembung minyak atau gas (ruanggurudotcom). Maka berlaku pula hal yang sama untuk data. Data raya yang banyak itu terkumpul dan dihimpun dari jejak-jejak perilaku digital yang ditinggalkan pengguna internet. Nah, jejak ini akan menimbulkan sampah yang tidak berguna, “mengendap” dan membebani server penyimpanan data perusahaan platform digital. Dari tumpukan data sampah yang berjejal dalam Big Data ini akhirnya disistemisasi melalui teknologi ‘cookies’ dan algoritma cerdas yang mengubah sampah itu menjadi “sesuatu yang berharga” layaknya minyak.

Perusahaan-perusahan titan teknologi seperti Amazon, Facebook, dan Google mendulang keuntungan dari informasi yang mereka kembangkan melalui algoritma yang dapat menghubungkan orang-orang dengan informasi yang mungkin ingin mereka konsumsi dan dengan membuat beberapa item lebih mudah diakses daripada item yang lain. Iklan digital tertarget (targeted digital ad) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) mendorong pengguna semakin aktif berinternet dan membuat pola perilaku pengguna semakin gampang terbaca.

Contoh lain dari betapa data menjadi primadona adalah dari penyedia aplikasi TikTok. Baru-baru ini, TikTok yang digandrungi banyak orang di dunia virtual memperbarui halaman kebijakan privasinya pada bagian 'Informasi Gambar dan Audio',  dimana TikTok dapat mengumpulkan data biometrik dari penggunanya dan untuk beberapa alasan TikTok belum mengatakan mengapa membutuhkan data ini atau untuk apa rencananya (techcrunchdotcom,03/06/2021). Kali lain penyedia jasa pesan singkat WhatsApp “memaksa” semua penggunanya, termasuk pengguna di Indonesia, untuk setuju membagikan data mereka ke perusahaan induk mereka, Facebook, jika ingin tetap menggunakan layanan ini. Emejing. Sementara itu untuk kasus-kasus yang memanfaatkan data nomor hape dan surel, yang terjadi di Indonesia, masih ingatkah kita dengan teror mama minta pulsa, permintaan sumbangan dari yayasan fiktif, bahkan warisan dari Pangeran nun jauh di Afrika. Bermacam ragam ranah pribadi kita mendapat jejalan informasi konten tersebut, baik sukarela ataupun dipaksa untuk kita terima karena data kita tidak terlindungi secara baik.

Data pribadi dalam era Big Data

Biar lebih terbuka wawasan kita, mari kita sinau bareng (baca:belajar bersama).

Dalam fenomena Big Data, privasi telah menjadi komoditas yang punya nilai tinggi. Beberapa teori menganggap privasi dianggap lebih luas dari sekedar data pribadi dalam konteks profiling. Maka, penyalahgunaan data pribadi akan sangat berdampak terhadap privasi seseorang. Privasi dengan perlindungan data pribadi erat hubungannya, jika diandaikan dengan tingkat tembus pandang suatu kaca, privasi adalah soal opasitas sementara perlindungan data pribadi berbicara mengenai transparansi (Gutwirth, 2015, Nugraha, 2018).

Berbicara tentang data dalam Big Data adalah bagaimana bahwa data pribadi kita aman, dalam Budhijanto (2019), data pribadi yang harus dilindungi dalam interaksi layanan platform Big Data adalah sebagai berikut:

  1. volunteered data (data sukarela) yaitu data pribadi yang secara aktif dan detail diberikan oleh individu ketika mereka mendaftar untuk layanan platform;
  2. observed data (data yang diamati) yaitu data perilaku yang dihasilkan melalui pengamatan/observasi penggunaan layanan oleh individu pengguna layanan platform; dan
  3. inferred data (data yang disimpulkan) yaitu data yang tidak aktif atau pasif disediakan oleh individu pengguna layanan platform, tetapi diperoleh melalui analisis data yang dikumpulkan.

Lebih lanjut Budhijanto menjelaskan bahwa legislasi dan regulasi perlindungan data saat ini di beberapa negara mengatur lebih banyak tentang volunteered data (data sukarela). Namun pada kenyataannya karena sebagian besar data yang dikumpulkan dan diperjual-belikan dilanjutkan prosesnya dengan pengamatan (observasi) atau penarikan kesimpulan, maka perlindungan kepada data sukarela tidak lagi memiliki makna keadilan hukum maupun keadilan sosial. Dalam sisi praktisnya, perlindungan data pribadi ini perlu dibuat dalam kerangka hukum formal karena banyak ragam aktifitas penjualan data yang dilakukan secara bebas, peretasan data, berbagai bentuk kejahatan siber (cyber crime) bahkan ancaman terhadap proses demokrasi dilakukan.

Beberapa tahun terakhir secara global telah terjadi banyak kasus kebocoran data pribadi. Beberapa diantaranya seperti pada tahun 2012 ketika LinkedIn mengumumkan bahwa 6,5 juta password dicuri oleh penyerang dan diposting ke forum peretas Rusia. Kasus Yahoo pada tahun 2014 ketika dalam proses penjualan kepemilikan pada Verizon menyatakan telah mengalami kebocoran 500 juta data pelanggan dan Yahoo menderita kerugian dengan menurunnya aset penjualan hingga 350 juta dolar. Pada Mei 2014, tereksposnya 145 juta daftar akun pengguna Ebay termasuk nama, alamat, tanggal lahir, dan kata sandi terenkripsi karena adanya serangan. Pada tahun 2018 kasus yang paling menghebohkan dunia adalah kasus Facebook dan Cambridge Analytica ketika sekitar 87 juta data pribadi pengguna Facebook dibagikan kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pemilik data. Mark Zuckerberg, mesti berhadapan dengan Parlemen Eropa untuk menjelaskan skandal Cambridge Analytica.

Selama pandemi Covid berlangsung, salah satu akun media sosial yang paling dikenal dan global, Twitter, terkena penipuan Bitcoin. Akun yang meragukan meminta pengguna Bitcoin untuk berinvestasi dengan imbalan dua kali lipat. Tweet itu beredar hanya untuk waktu yang singkat tetapi para peretas menghasilkan Bitcoin senilai lebih dari US$100.000. Bahkan aplikasi Zoom yang telah menjadi salah satu platform konferensi video dan audio yang paling dikenal mengalami insiden serangan siber terhadap dengan 500 ribu akun pengguna. Penyerang memperoleh akun dengan menggunakan ID pengguna dan kata sandi untuk mendapatkan akses ke informasi pribadi. 

Bagaiamana di Indonesia? (silakan lanjut ke halaman berikutnya

Tags Terkait

Disdukcapil Provinsi Kalimantan Barat Wonderful Borneo Kalbar Kota Pontianak