Apa yang kalian lakukan saat mendengar Bapak masuk ke rumah? Langsung masuk kamar?
Pernahkan kalian berbicara dari hati ke hati bersama Bapak?
Pernahkan kalian sekali saja ngedate bareng bersama Bapak?
Kalau jawaban pertanyaan nomor satu kalian adalah TIDAK, dan jawaban nomor dua dan tiga adalah PERNAH, maka selamat! Kalian adalah anak minoritas di Indonesia. Karena sosok Bapak di negara kita tercinta ini sangatlah sulit ditemukan. Siapa yang bilang? PENELITIAN!
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rutgers pada tahun 2015, Indonesia menempati juara 3 di dunia untuk negara yang peran ayahnya sangat minim dalam keluarga. Apa maksudnya? Maksudnya adalah, keluarga yang memiliki orang tua lengkap. Ayah dan Ibu ada di rumah. Akan tetapi, seorang anak tidak pernah merasakan sosok ayah hadir untuk dirinya. Ayah di sini hanya ‘berperan’ menjadi seorang pencari nafkah tanpa hadir secara fisik (berbicara dengan anak, bukan memerintah), mental (melakukan validasi baik kepada setiap emosi anak) maupun spiritual.
Lalu apakah dampak dari ketidakhadiran sosok Ayah di dalam keluarga untuk seorang anak?
Menurut Psikolog Dwi Ratna Laksitasari, S.Psi, kurangnya keterlibatan peran ayah dalam pengasuhan anak membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry/ “lapar pada sosok ayah”. Yaitu, kerusakan psikologis yang diderita anak-anak dikarenakan tidak mengenal ayahnya. Kondisi father hungry ini dapat berakibat pada rendahnya harga diri anak, anak tumbuh dengan kondisi psikologis yang tidak matang (kekanak-kanakan/childish), tidak mandiri/ dependent, kesulitan menetapkan identitas seksual (cenderung feminin atau hypermasculin), kesulitan dalam belajar, kurang bisa mengambil keputusan/ tidak tegas, bagi anak perempuan tanpa model peran ayah setelah dewasa sulit menentukan pasangan yang tepat untuknya hingga dapat salah memilih pria yang layak/ salah pilih jodoh.
Dampak-dampak tersebut dapat berakibat lagi pada masalah sosial. Seperti kesulitan menetapkan identitas seksual membuat anak cenderung lebih mudah untuk terlibat LGBT, kondisi psikologis yang tidak matang pada seorang laki-laki maupun perempuan membuatnya lebih mudah jatuh sebagai pelaku maupun korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Seringkali kita sebagai orangtua menginginkan seorang anak yang ‘sempurna’. Anak yang mandiri, anak yang bisa belajar sendiri, anak yang percaya diri, anak yang tidak sulit untuk berkomunikasi, anak yang secara seksualitas normal (heterosex), anak yang baik dan tidak melakukan kekerasan. Ekspetasi yang tinggi terhadap anak di Indonesia tidak dibarengi dengan kehadiran dari orang tua mereka, terutama sosok seorang ayah.
Sayangnya pola Patriaki yang kental di Indonesia membuat sulit bagi sosok seorang ayah benar-benar bisa hadir dalam keluarganya. Ayah dianggap telah selesai kewajibannya dengan bekerja dan menghasilkan uang. Bahkan, hingga tahun 2023 ini, kurikulum di dalam buku PPKN sekolah dasar anak kelas 3 masih mengkotak-kotakkan tugas dan peran ayah dan ibu di rumah. Tugas ibu adalah memasak, tugas ayah adalah bekerja, dan tugas anak adalah belajar. Melihat gaungan kesetaraan gender, rasanya tidak cocok lagi pembagian peran tugas seperti itu tertuang pada buku yang menjadi paduan pada seluruh anak di Indonesia. Seperti sebuah pembenaran, bahwa ketika ayah sudah bekerja, maka tugasnya telah selesai. Bahwa seorang laki-laki tidak bisa menjadi ayah rumah tangga. Padahal jumlah ayah rumah tangga di dunia tiap tahunnya meningkat dan hal ini memberikan dampak positif bagi anak-anak.
Lalu, apa yang bisa sosok ayah lakukan agar anak-anak kita merasakan kehadiran ayah dalam kehidupannya? Ada beberapa hal yang dapat seorang ayah lakukan agar perannya terasa bagi seorang anak.
- Mengajarkan memecahkan sebuah masalah
Saat mainan anak rusak, apa yang para Bapak lakukan? Langsung mencoba memperbaiki mainan tersebut? Atau membuang mainan dan membelikan mainan baru?
Saat mainan anak rusak, adalah kondisi yang tepat di mana anak dan ayah mendapatkan quality time. Ayah dapat memberikan petunjuk untuk anak mencari apa permasalahan dari kerusakan mainan tersebut. Ayah menjadi pendamping, bukan mekanik yang memperbaiki mainannya. Selain anak dan ayah memiliki kulitas waktu bersama. Anak yang diberikan waktu untuk berfikir tentang permasalahannya lama kelamaan juga akan memiliki kemampuan pemecahan masalah. Ketika saat dewasa nanti, mereka akan lebih mandiri dan tahu apa yang menjadi keinginan diri mereka tanpa perlu selalu mendapatkan perintah dari orang lain. Anak yang memiliki kemampuan pemecahan masalah akan dapat membuat inovasi yang diperlukan oleh orang lain. Dan anak yang memiliki kemampuan pemecahan masalah, akan memiliki karir yang lebih tinggi dibanding anak yang selalu hanya menerima perintah.
- Membersamai anak ketika bermain
Menurut Psikolog anak dan keluarga dari Universitas Indonesia, Vera Itabiliana, S.Psi. mengungkap bahwa ayah penting memiliki waktu bermain bersama anak. Hal ini salah satunya bermanfaat untuk tumbuh kembangnya mentalitas anak.
Pada saat bermain bersama anak, ayah juga bisa mengevaluasi cara bersikap dan mengasuh anak. Kepercayaan dan keterikatan antara ayah dan anak juga bisa semakin meningkat dengan kegiatan bersama ini.
Yang perlu diperhatikan adalah, kualitas bermain antara ayah dan anak. Saat bermain bersama anak, selayaknya ayah tidak membagi perhatian mereka. Membagi fikiran dengan hanphone, atau membagi fikiran dengan pekerjaan yang belum selesai. Tinggalkan itu semua dan bersamai bermain bersama anak. Melakukan kontak mata dengan anak, membiarkan anak bermain tanpa memerintah dan memberikan instruksi, memasukki dunia anak selama 15 menit saja secara regular sudah sangat cukup untuk anak.
- Hangout berdua bersama anak
Melakukan kegiatan di luar rumah antara ayah dan anak juga sangat penting dilakukan. Seperti membawa anak ke tempat bermain. Atau sekedar makan berdua, dan nonton bioskop berdua antara anak dan ayah akan sangat membuat bonding yang kuat.
Peran ibu di sini adalah untuk mempercayakan anak sepenuhnya dengan ayahnya. Jangan melakukan telpon atau komunikasi lainnya selama ayah dan anak berada di luar. Kekhawatiran yang berlebihan akan membuat ayah tidak percaya diri yang akhirnya tidak mau lagi melakukan kegiatan tersebut.
Beri waktu berkualitas antara ayah dan anak dan tanyakan kegiatan yang mereka lakukan setelah pulang ke rumah.
- Mendengarkan cerita keseharian dan keluh kesah anak, tanpa memberikan nasehat
Kebanyakan orang tua selalu berupaya memberikan nasehat kepada setiap kalimat atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang anak. Padahal, kadang nasehat bukanlah sesuatu yang paling diperlukan oleh seorang anak ke ayahnya. Yang mereka perlukan adalah waktu bercerita yang tidak terpotong dan waktu untuk didengarkan.
Ayah atau orang tua pada umumnya harus tahu memisahkan waktu antara sebagai pendengar dan sebagai pemberi masukkan.
- Melakukan validasi perasaan anak
Sudah tahun 2023 apakah masih ada para ayah yang tidak memperbolehkan anak-anak menangis? Marah? Kesal?
Bahwa, seluruh emosi yang ada pada anak adalah berarti. Anak boleh marah, anak boleh sedih dan menangis, anak boleh kesal, anak boleh senang. Seluruh perasaan dan emosi anak harus diperbolehkan. Justru akan sangat bagus jika anak mengeluarkan emosi yang mereka rasakan dan tidak hanya diam di depan orang tua atau ayahnya.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang tua ketika melihat anak yang sedang mengeluarkan emosinya? Validasi! Validasi kepada anak bahwa mereka boleh merasakan itu semua. Ajarkan! Ajarkan dan sebutkan nama emosi yang sedang keluar dari mereka. “Abang sedang marah?” “Kakak sedang kesal?” “Adek sedang sedih?” “Kamu sedang senang?” beri waktu anak untuk merasakan emosinya, jangan langsung jika sedih, marah, kesal, atau senang disuruh untuk berenti. Memaksa berhenti akan membuat trauma masa kecil yang akan keluar saat anak menjadi dewasa kelak. Beritahu mereka bawah kita sebagai orang tua hadir. Selalu temani anak saat emosinya sedang dipuncak. Dan saat emosinya sudah mereda lakukan komunikasi atas apa yang mereka rasakan. Apa yang boleh mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan saat emosi. Seperti mereka boleh diam, tapi mereka tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain. Mereka boleh kalut, tapi mereka tidak boleh merusak barang seperti melempar mainan atau merusak rumah.
Kehadiharan peran ayah ini juga perlu mendapat perhatian oleh negara. Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan berhak memperoleh cuti selama 3 bulan. Sementara itu bagi pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan hanya boleh mendapatkan cuti selama dua hari. Tentu hal ini tidaklah cukup. RUU KIA yang diinisiasi oleh DPR menyatakan bahwa suami berhak mendapatkan cuti pendampingan ibu melahirkan paling lama 40 hari atau ibu yang mengalami keguguran paling lama 7 hari. Ini merupakan hal baik jika segera dilaksanakan.
Peran ibu tidak bisa digantikan oleh seorang ayah. Pun sebaliknya, peran ayah tidak bisa digantikan oleh seorang ibu. Maka, lakukanlah peran masing-masing kepada anak-anak kita. Hingga pada akhirnya, anak merasa dirinya berada, berarti dan lengkap. Anak tidak akan merasakan kekurangan dari dalam rumah dan mencari jati dirinya di luar rumah dan keluarga.