Inggris, musim gugur 2017. Saat jutaan pasang mata di seluruh dunia setiap minggunya tertuju ke Negeri Ratu Elizabeth hanya untuk menunggu info dan menonton perhelatan ajang English Premiere League (EPL), di salah satu kota di negara tersebut diselenggarakan gelaran konfrensi internasional di bidang Social Informatics atau Informatika Sosial. Sebagai salah satu negara dengan perkembangan teknologi paling cepat di dunia, The 9th International Conference on Social Informatics (SocInfo 2017) dilaksanakan dari tanggal 13-15 September dan mengambil tempat di kota Oxford. Mendengar kota Oxford, hal yang tergambar pertama kali di pikiran kebanyakan kita adalah Universitas Oxford yang menyejarah itu (saingan Universitas Cambridge) dan telah menghasilkan banyak alumni (yang terkenal bisa disebutkan seperti Stephen Hawking, fisikawan abad ini dan Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat, dan tentu banyak lagi yang lain). Dugaan itu tepat sekali. Ajang Socinfo 2017 diorganisir oleh University of Oxford lewat salah satu departemennya yaitu Oxford Internet Institute. SocInfo adalah venue para periset lintas disiplin dari Ilmu Komputer, Ilmu Informatika, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Ilmu Manajemen untuk berbagi gagasan dan opini, dan menyajikan karya penelitian asli untuk mempelajari interaksi antara platform sosial dan fenomena sosial. Tujuan akhir dari SocInfo adalah untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang platform sosial-sentris bukan hanya sebagai teknologi, tapi juga sebagai serangkaian fenomena sosial.
Bagi orang awam, istilah Informatika Sosial mungkin tidak dikenal. Namun mahasiswa yang berlatar belakang Teknologi Informasi tidak asing dengan istilah tersebut. Pengertian dari Informatika Sosial adalah studi yang mengacu pada aspek sosial dari komputerisasi, termasuk peran teknologi informasi dalam perubahan sosial dan organisasi, penggunaan teknologi informasi dalam konteks sosial, dan bagaimana organisasi sosial teknologi informasi dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan praktik sosial (Rob Kling Center). Informatika Sosial mempelajari dan menganalisis segala hal yang melekat pada komputer, seperti pengaruh sosial dari komputasi, analisis sosial komputasi, kebijakan informasi, komputer dan masyarakat, organisasi informatika, pengenalan informatika, dan lainnya. Informatika Sosial pada prakteknya melibatkan banyak latar belakang keilmuan seperti sistem informasi, antropologi, hukum, sains ekonomi, sains komputer, psikologi, komunikasi, sosiologi, kepustakaan, sains informasi, sains politik dan studi sains dan teknologi.
Dikutip dari laman situs web Rob Kling Center for Social Informatics (RKCSI) -- RKCSI adalah salah satu pusat riset Informatika Sosial paling terkenal di dunia --, istilah "Informatika Sosial" muncul dari serangkaian percakapan yang intens pada bulan Februari dan Maret 1996 di antara para ilmuwan yang memiliki minat mengenai aspek sosial dari komputerisasi. Di antara ilmuwan tersebut adalah Rob Kling sendiri, Phil Agre, Jacques Berleur, Brenda Dervin, Andrew Dillon, Mark Poster, Karen Ruhleder, Ben Shneiderman, Leigh Star, dan Barry Wellman. Seiring berkembangnya percakapan, didapatlah konsensus yang menjadi kesepakatan dan dapat menjadi label kerja bersama dalam komunitas tersebut yaitu Informatika Sosial. Info lain menjelaskan pula bahwa istilah tersebut didapat pada saat Rob Kling melakukan kunjungan ke Oslo pada awal tahun 1980an, dan diberitahu oleh sosiolog Norwegia bernama Stein Bråten tentang bidang "sosioinformatikk", berikut istilah, konsep, teori, model, dan proyek penelitian yang dilakukan oleh Bråten dan kolaboratornya, termasuk Kristen Nygaard, pencipta Simula, bahasa pemrograman berorientasi objek pertama.
Riset Informatika Sosial berfokus pada hubungan sosio-teknis yang terjadi antara manusia dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang digunakannya. Dalam konsep sosio-teknis, sebuah proses kerja tidak dapat dilihat sebagai dua hal terpisah yang terdiri dari sistem teknis dan sistem sosial. Keduanya harus dilihat sebagai kesatuan. Jadi, Teori Sistem Sosio-Teknis (socio-technical systems theory) merupakan cara memandang organisasi yang menekankan keterkaitan dimensi teknis dan dimensi sosial.
Beberapa tema riset terkait Informatika Sosial adalah dimensi ekonomi dan budaya dari komputerisasi, komputerisasi dan perubahan beban kerja, sistem keamanan dan kerentanan sosial, hukum dan etika profesi (hacking, fraud, hoax), pengaruh teknologi informasi di dunia pendidikan, risiko komputerisasi, komunitas virtual, pertumbuhan budaya siber (cyber culture), hiburan digital, model komputasional dari fenomena sosial, big data, isu keamanan, privasi dan kepercayaan, analisis media sosial, kredibilitas dari konten daring, informatika kesehatan, algoritma dan protokol yang dipengaruhi sosialisasi manusia, informatika pedesaan, peramalan dari fenomena sosial, sistem sosial ekonomi dan aplikasinya, dan masih banyak sekali yang lain. Khusus dalam sektor pelayanan publik, riset Informatika Sosial dilakukan untuk melihat pengaruh penerapan teknologi informasi dan aplikasinya terhadap perilaku kinerja end user, baik itu pegawai sektor publik atau masyarakat yang terkena pengaruh secara langsung maupun tidak dari penerapan teknologi informasi yang diterapkan.
Mari kita dalami lebih lanjut. Dalam penerapannya, Informatika Sosial merefleksikan 5 (lima) prinsip spesifik analisis sosial komputasi yaitu pertama, TIK dipandang sebagai sebuah sistem sosio-teknis, yang menjelaskan pengaturan dari teknologi, masyarakat, dan norma sosial, praktik dan aturan-aturannya. Kedua, Informatika Sosial adalah problem-oriented, yang artinya berfokus pada perancangan, pengembangan, dan penggunaan TIK dalam membantu individu, organisasi dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ketiga, perancangan, pengembangan, dan penggunaan TIK berporos pada kontekstualitas dan memperhatikan letak atau keadaan sosial yang melekat. Keempat, manusia adalah aktor sosial yang secara individu memiliki motivasi, ketertarikan, praktik, dan nilai yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa mereka menggunakan TIK. Kelima, para periset Informatika Sosial melibatkan penelitian yang mendalam dari segi normativ, analitis, dan kritis. Lebih jelasnya riset dikembangkan untuk melihat lebih ke dalam dari kompleksitas perancangan TIK, pengembangan, penyebaran, dan penggunaannya yang sedang berlangsung dan menghindari simplifikasi penggunaan teknologi.
Masih bingung tentang penjelasan Informatika Sosial di atas yang teori banget?. Begini saja, 3 (tiga) kata kunci dari Informatika Sosial adalah manusia sebagai aktor sosial, TIK, dan aspek sosio-teknis. Titik. Selanjutnya mari kita memahami kontekstualisasi Informatika Sosial dalam penerapan TIK penataan administrasi kependudukan.
TIK administrasi kependudukan : SIAK, KTP-el, dan data warehouse
Di tengah lingkungan persaingan global saat ini yang terjadi, data kependudukan bagi suatu negara menjadi isu strategi dan pengelolaannya merupakan epitome utopia bagi negara tersebut. Badan Dunia milik Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu United Nations Development Programme atau UNDP (2010) bahkan mengakui bahwa dalam menilai tata kelola data (kependudukan), kurangnya data objektif yang relevan telah memaksa banyak organisasi untuk bergantung pada data subjektif yang bisa menimbulkan masalah. Hal ini mengandung makna mendalam bahwa persoalan data kependudukan mempunyai peran penting dalam perubahan pembangunan, artinya jika tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan data yang dapat menimbulkan masalah dan tidak dapat digunakan dalam menentukan kebijakan sebuah pemerintahan.
Berbicara tentang penataan administrasi kependudukan, keterlibatan TIK adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan. Namun akan menjadi kekeliruan besar kalau menganggap bahwa TIK adalah segalanya. TIK adalah enabler yang memungkinkan problematika penataan administrasi kependudukan menjadi lebih mudah dan tertata, khususnya dalam menghasilkan data kependudukan yang akurat. Data kependudukan yang dihasilkan akan menjadi bahan kebijakan pembangunan di segala bidang dan tentu membutuhkan landasan berupa varian data kependudukan yang sudah diolah.
Singkatnya, keseriusan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan sistem administrasi kependudukan tertuang dalam kebijakan publik berupa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (yang dulunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006). Berikut kilasan singkat poin-poin penting dalam penggunaan TIK administrasi kependudukan, khususnya sistem informasi yang penulis bagi menjadi 3 (tiga) yaitu Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), KTP-el, dan data warehouse.
a. SIAK
Sebagai bagian dari TIK, SIAK memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan sejak pengumpulan, perekaman, pengolahan dan hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil untuk penerbitan dokumen penduduk dan pertukaran data penduduk, dalam rangka menunjang pelayanan publik, serta penyajian informasi kependudukan guna perumusan kebijakan di bidang pemerintahan dan pembangunan. Merunut lebih jauh lagi, sejarah singkat penggunaan sistem informasi dalam penataan administrasi kependudukan dapat dijelaskan oleh Suaib (2010, pp 135-136) sebagai berikut:
“Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, DR. H. Abdul Rasyid Sholeh, M. Si (Dirjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri atau Depdagri), pada tahun 1996 Depdagri memperkenalkan suatu sistem yang disebut dengan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK). Dalam perjalanannya, Nomor Induk Kependudukan (NIK) dilandasi dasar hukum yang disebut dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1A Tahun 1996 mengenai Penerapan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. Selama satu tahun lebih pelaksanaannya, hampir semua daerah mulai melakukan penerapan NIK yang dimaksud.
Pada tahun 1997 tiba-tiba terjadi suatu fluktuasi harga untuk perangkat keras, sehingga banyak daerah yang setengah jadi dalam penerapan NIK. Akhirnya pada tahun 1998 tidak terurus. Pemakaian NIK di hampir semua daerah kabupaten/kota menjadi kacau. Oleh karena itu, dibentuk Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan. Penataan personil di Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan untuk mengurus NIK ini nantinya berfungsi baik di tahun 2005.
Tidak ada sanksi pidana dalam semua perangkat yang diperuntukkan mengurus NIK dan tidak adak kepatuhan kabupaten/kota untuk menerapkan NIK. Itu sebabnya Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi II pada akhir tahun 2005 memprioritaskan UU tentang Administrasi Kependudukan selesai pada tanggal 29 Desember 2006. Dengan adanya UU tersebut, barulah semua kabupaten/kota dan seluruh bupati, walikota, gubernur dapat memaksa seluruh penduduk melakukan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil untuk menerapkan NIK.”
Berdasar kutipan hal di atas, jelas upaya melibatkan TIK sudah diusahakan oleh pemerintah pusat (zaman Presiden Soeharto) sebelum terjadi krisis moneter yang mengguncang kestabilan sendi kenegaraan kita (tahun 1998). Lebih jelasnya berikut trajektori penggunaan TIK, dalam hal ini peta jalan atau roadmap SIAK.
Sebelum 2006
- Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) dan lain sebagainya
- belum ada standardisasi aplikasi
2006-2010
- SIAK standar
- SIAK Konsolidasi
- Pemutakhiran data
- Penerbitan NIK secara nasional
- Mulai pemanfataan data SIAK (2009)
2011-2012
- SIAK dan SIAK Konsolidasi
- Penerbitan NIK (berkelanjutan)
- Penerapan KTP berbasis NIK secara nasional
2014 – dan seterusnya
- SIAK dan SIAK Konsolidasi
- Penerapan KTP berbasis NIK secara Nasional berkelanjutan
2015
Dibentuknya Direktorat Pemanfaatan Data
2016 – dan seterusnya
- Penerapan KTP berbasis NIK secara Nasional berkelanjutan
- Memberikan Kartu Identitas Anak secara nasional
- Mempercepat cakupan akta kelahiran
- Mendekatkan pelayanan di masyarakat
SIAK dikembangkan oleh Ditjen Dukcapil Kemendagri dan telah beberapa kali dilakukan pengembangan versi untuk mengakomodir dinamika permasalahan administrasi kependudukan. Untuk saat ini SIAK yang digunakan adalah SIAK versi 6.
b. KTP-el
Bukanlah sebagai prodigi di masa kini, KTP-el yang sudah terlaksana sejak tahun 2011 s/d sekarang -dan terlepas dari kasus yang membelit persoalan mega proyek tersebut-, sejatinya dilatarbelakangi disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Sejak diberlakukannya Perpres Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional yang dilanjutkan dengan Perpres nomor 35 tahun 2010 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 26 tahun 2009 dan dilanjutkan kembali dengan Perpres Nomor 27 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 26 tahun 2009, maka arah kebijakan kependudukan secara nasional tentang Kartu Tanda Penduduk diarahkan menjadi KTP berbasis NIK, yang selanjutnya disebut KTP Elektronik.
Penerapan Pemberlakuan Perpres Nomor 112 Tahun 2013 tentang Perubahan Ke-empat atas Perpres Nomor 26 tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional semakin menegaskan hal tersebut. KTP elektronik atau KTP-el (dulu disebut e-KTP) adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP Nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.
Implementasi program KTP-el secara nasional ini sudah dilakukan sejak November tahun 2009 dengan menjadikan 6 Kabupaten/Kota sebagai pilot project KTP-el. Uji coba dilakukan di Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, dan dan Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Memasuki pelaksanaan tahun ke-7, KTP-el masih terus diupayakan mencapai keseluruhan usia wajib KTP di seluruh Indonesia, dengan menjadikan penyelesaian perekaman dan pencetakanKTP-el sebanyak 100% sebagai target dari indikator kinerja kabupaten/kota, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil oleh Ditjen Dukcapil Kemendagri.
c. Data warehouse
Perkembangan terbaru dari penataan administrasi kependudukan adalah penggunaan (aplikasi) data warehouse dalam pemanfaatan data kependudukan oleh lembaga lain. 2 (dua) poin penting dalam penggunaan data warehouse dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu:
Pertama, pemanfaatan Data kependudukan oleh lembaga negara, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian atau badan hukum Indonesia yaitu data kependudukan yang sudah dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan digunakan untuk Pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi dan penegakan hukum dan pencegahan kriminal (pasal 58 ayat 4 UU No. 24 Tahun 2013).
Kedua, terbitnya Permendagri 61 tahun 2015 tentang Persyaratan, Ruang Lingkup dan Tata Cara Pemberian Hak Akses serta Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan, Data Kependudukan, dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik yang menjelaskan penggunaan data warehouse dalam mekanismen pemanfaatan data kependudukan.
Tetapi apakah sebenarnya data warehouse tersebut?. Data warehouse adalah suatu konsep dan kombinasi teknologi yang memfasilitasi organisasi untuk mengelola dan memelihara data historis yang diperoleh dari sistem atau aplikasi operasional. Data warehouse mengumpulkan data historis yang kemudian dapat dijasikan sebagai bahan komprehensif bagi manajemen untuk dapat mengambil keputusan, analisis kebutuhan organiasi, hingga peramalan kondisi organisasi berdasar data (Ferdiana, 2009). Gartner (2012) mendefinsikan data warehouse sebagai sebuah arsitektur penyimpanan data yang dirancang untuk mengambil data dari sistem transaksi, penyimpanan data operasional dan sumber data eksternal. Data warehouse ini mengkombinasikan data dalam agregat, bentuk ringkasan yang sesuai untuk analisis data dan laporan standar keperluan bisnis.
Lalu, mengapa sebuah organisasi memerlukan data warehouse?. Jawabannya karena data dalam sebuah organisasi adalah sebuah aset yang sangat berguna bagi setiap anggota organisasi untuk memutuskan suatu kebijakan, melakukan suatu aksi strategis, atau mengambil keputusan bisnis. Data yang senantiasa berkembang membutuhkan pengelolaan khusus baik dari sisi pemanfaatannya maupun dari sisi penyimpanannya. Pada saat organisasi hendak menerapkan solusi data warehouse dalam organisasi yang bersangkutan, maka disarankan bagi organisasi tersebut untuk mengkaji tujuan organisasi tersebut dalam menerapkan konsep data warehouse.
Berikut adalah beberapa ekspektasi atau harapan yang hadir pada saat data warehouse diterapkan (Ferdiana, 2009). Pertama, data warehouse menghadirkan solusi satu pintu pengaksesan data. Pengguna tidak harus mengakses data dari sistem yang terpisah, data dapat diakses melalui satu akses sistem yang sama. Kedua, data warehouse menghadirkan manajemen data yang lebih terintegrasi dan memiliki skalabilitas tinggi dari sisi ketersediaan data suatu organisasi. Ketiga, data warehouse memberikan solusi analisis historis suatu data, analisis histori suatu data dapat membantu organisasi untuk melihat trend data yang membantu organisasi dalam memberi keputusan organiasional yang bergantung pada data. Keempat, data warehouse memberikan solusi pengambilan keputusan yang melibatkan banyak sistem dan aplikasi tanpa mengganggu proses yang terjadi pada operasional sistem yang bersangkutan. Kelima, data warehouse menghadirkan konsistensi data yang membantu bagi manajemen untuk melakukan peramalan “forecasting” kondisi organisasional berdasar pada data historis yang konsisten.
Kembali ke data warehouse yang telah berjalan saat ini untuk jadi dasar pemanfaatan data Ditjen Dukcapil Kemendagri, memberikan nuansa baru dalam pemanfaatan data kependudukan oleh lembaga. Walaupun dalam beberapa hal masih menyisakan persoalan teknis yang mendasar berupa tidak semuanya database penduduk mengalami pemutakhiran, seperti pada kasus penerimaan CPNS daring tahun 2017 ini yang menggunakan data kependudukan, namun pada saat pelamar memasukkan Nomor Induk Kependudukan ke dalam aplikasi penerimaan CPNS, justru yang keluar adalah ketidaksinkronan data pelamar. Terlepas dari persoalan teknis tersebut, permasalahan selanjutnya adalah agar Ditjen Dukcapil terus memberikan bimbingan dalam pemanfataan data kependudukan di tingkat daerah, karena setahu penulis saat ini baru sedikit Disdukcapil kabupaten/kota dan Provinsi yang telah mengaplikasikan data warehouse dan melakukan Perjanjian Kerja Sama yang merupakan syarat pemanfaatan data oleh Lembaga Pengguna (lihat Permendagri 61 tahun 2015).
Lalu dengan perkembangan TIK yang begitu cepat dan era business at the speed of thought (meminjam nama judul buku Bill Gates), penanganan tata kelola data kependudukan ke depan pasti akan menjadi lebih kompleks.
Big Data Kependudukan : The Long and Winding Road
Sedikit nostalgia ke tahun 1970-an. Bagi penggemar The Beatles, tentu tidak asing dengan lagu yang berjudul The Long and Winding Road dari album Let It Be. Mungkin “kids jaman now” atau anak-anak zaman sekarang yang digital native - generasi milenial itu- sedikit banyak pernah mendengar lagu tersebut lewat youtube yang mereka tonton. Termasuk digital immigrant generasi yang lahir di angkatan 60, 70 dan 80an, lantunan suara John Lennon pernah mampir dan akrab di telinga.
The Long and Winding Road. Jalan panjang dan berliku. Dalam beberapa dekade terakhir ini peningkatan kebutuhan akan data oleh seluruh organisasi publik telah merubah secara cepat pola pandang bagaimana melakukan manajemen data. Sebagai triumvirat sistem informasi dalam penataan administrasi kependudukan (SIAK, KTP-el, data warehouse), diperlukan upaya yang konsisten, kontinyu dan saling bekerja sama (sedikit berbeda dengan jargon Presiden Jokowi yang ikonik yaitu kerja, kerja, kerja) dalam pemanfaatannya agar menghasilkan keluaran yang tepat sasaran, yaitu tata kelola data kependudukan yang terorganisir. Saya yakin, perkembangan TIK di masa kini yang terjadi dan masa yang akan datang juga akan mempengaruhi arah dari kompleksitas penanganan tata kelola data kependudukan.
Yup, pemanfaatan data kependudukan yang expandable alias dapat diperluas. Perluasan seperti apa?. Lebih kurang analisisnya akan menuju seperti apa yang disebut Big Data kependudukan. Mengapa Big Data?. Jawabannya sederhana, karena saat ini era Internet of Things sudah berjalan, sedang berjalan, dan akan terus berekspansi. Adanya mobile devices, aerial remote sensing, kamera, software logs, wireless sensor networks, RFID alias radio-freqwency identification akan menginisiatif penggunaan Big Data. Arah pengelolaan data yang mengelola secara masiv bit demi bit data dan dikelola untuk mendapatkan data yang signifikan dalam pemanfaatannya adalah Big Data dan proses menuju ke arah sana adalah The Long and Winding Road.
Sebagai bagian dari TIK, Big Data dapat diartikan sebagai generasi teknologi dan arsitektur, yang dirancang secara ekonomis untuk mengekstrak nilai dari volume data yang sangat besar dari berbagai macam data, yang memungkinkan data tersebut diambil, ditemukan, dan/atau dilakukan analisis dengan kecepatan tinggi (Gantz, Reinsel, 2011). Big Data berbeda dengan triumvirat SIAK, KTP-el, dan data warehouse di atas. Simpulan tulisan A. Alexandru, C. A. Alexandru, D. Coardos, E. Tudora (2016) dan dimuat dalam International Journal of Computer, Electrical, Automation, Control and Information Engineering, menghasilkan kesimpulan Big Data dalam sektor publik adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan wawasan baru yang muncul dari berbagai jenis data dan konten, dalam rangka menciptakan bisnis (baca: proses) yang lebih gesit dan untuk menjawab pertanyaan yang sebelumnya tidak terjawab.
Membayangkan Big Data Kependudukan sebagai teknologi masa depan ketika data kependudukan sudah terintegrasi secara menyeluruh ke seluruh sendi kehidupan seorang individu adalah sebuah hal yang indah dan utopia. Namun sekali lagi jalan ke arah sana (baca : Big Data Kependudukan) tidaklah seperti sederhana yang dibayangkan. Masalah yang akan ditemukan adalah teknologi yang digunakan, problem ‘dirty data’ dan pertumbuhan volume data yang besar manakala koneksitas relasi database biodata penduduk semakin meluas.
Selain teknologi, sangat naif jika pengembangan TIK (Big Data adalah TIK) dapat melepaskan diri dari sudut pandang sosio-teknis. Logika teknologi menyebutkan terdapat cara untuk mengintegrasikan variasi atau macam data termasuk database, hirarki data, dokumen, email, blogs, log files, citra, gambar, audio, video, transaksi keuangan dalam sebuah big data. Riset Informatika Sosial menyebutkan bahwa the same type of information system may have very different effects in two different organizations. Melihat TIK sebagai sebuah sistem sosio-teknis berarti mempertimbangkan jaringan relasi sosial yang kompleks termasuk di dalamnya praktik rutin di tempat kerja, hubungan kekuatan organisasi yang terlibat dan pola komunikasi yang terjadi (lihat Bowker, Star, Turner, & Gasser, 1997; Mansell & Silverstone, 1995; Wellman, et. al., 1996).
Berbicara Big Data berarti berbicara tentang volume data, kecepatan, kehandalan, program aplikasi yang mengerti konteks data yang dibutuhkan, berbagai macam variasi data, bagaimana memvisualisasikannya, dan kapasitas value pengetahuan apa yang didapat (E. Mcnulty,2014). Dan jika berbicara tentang Big Data Kependudukan, berarti melibatkan dynamic network society atau jaringan sosial yang dinamis, seperti aktor-aktor sosial (individu maupun organisasi), struktur politik, dan situasi kerangka kerja realita sosial. Tidak bisa leading sector dalam hal ini Ditjen Dukcapil Kemendagri bergerak sendiri. Jika persoalan teknologi dapat terselesaikan, belum tentu persoalan sosio-teknis terselesaikan. Persoalan terbesar adalah how to reach a mutual understanding with another. Di sinilah peran aktualisasi Informatika Sosial mencuat.
Mendiskusikan Informatika Sosial sebagai bahan racik utama dalam pengembangan Big Data Kependudukan (juga untuk pengembangan informatika lainnya) adalah hal yang penting. Beberapa simpulan riset menjelaskan sebagai berikut:
- Desain TIK terkait dengan dinamika sosial dan organisasi, dan dinamika kontekstual berarti bahwa TIK selalu dikaitkan dengan lingkungan penggunaannya (Orlikowski, 1993; Kling & Scacchi, 1982).
- TIK menghasilkan nilai yang tidak netral, ada yang menang (winners) dan ada yang kalah (loser) (Kling, 1992).
- TIK menghasilkan multipel efek bahkan efek yang paradoks.
- TIK menggunakan aspek moral dan etik dan menghasilkan konsekwensi sosial (Nissenbaum, 1994).
- Karena TIK adalah entitas sosio-teknis, evolusinya sama dengan kemajuan teknis sejarah sosial (Edwards, 1994).
- TIK mengalami perkembangan selama disain, pengembangan dan penggunaannya, baik sebelum dan sesudah implementasi (Leonard-Barton, 1988; Kling & Iacona, 1984).
Akan banyak argumen yang berkembang dalam Big Data Kependudukan, entah itu soal kepercayaan, legitimasi, otoritas, reformasi hukum, generasi baru dalam sosial politik, perubahan politik dan demokrasi dan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan saat ini. Namun seperti pokok penulisan artikel ini, yaitu Informatika Sosial, dimana dimensi sosial maupun teknisnya dirancang untuk saling melengkapi. Jika sebuah disain hanya mengoptimalkan dimensi teknis saja, atau dimensi sosial saja, maka yang terjadi justru pengurangan kemampuan keduanya dalam mendukung tujuan organisasi. Big Data Kependudukan adalah sesuatu yang penting. Namun, seperti lagu The Beatles. The Long and Winding Road.
Pontianak. Selasa, 3 Oktober 2017, 16.21 WIB. Fiihi Ma Fiihi.
Penulis
Yopie Indra Pribadi, S. Kom, M. Eng, Kasi Kerjasama dan Inovasi Pelayanan, Disdukcapil Kota Pontianak.
Lahir di Pontianak, 18 Juli 1977, seorang penikmat sepakbola yang kagum pada filsuf sekaligus inovator dan inventor taktik sepakbola bernama Johan Cruyff, pernah menuntut ilmu Chief Information Officer di UGM, Yogyakarta. Memiliki minat pada membaca, IT policy, e-education, e-government, dan diskusi lintas budaya. Pengalaman di bidang pemerintahan diantaranya pernah bekerja di Kantor Informasi dan Komunikasi, Bagian Umum Sekretariat Daerah, Badan Kepegawaian Daerah dan yang paling lama di Disdukcapil Kota Pontianak.
Catatan : tulisan ini sudah diposting pada laman web Disdukcapil yang lama pada tanggal 3 Oktober 2017 dan sudah diakses sebanyak 269 kali