Kekeliruan Memanfaatkan Data : Belajar dari McNamara Fallacy, kini dan nanti, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 08 DESEMBER 2021
  • 4066 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_9773155620_insight_mcnamara.jpg

Dunia yang kita tempati adalah dunia yang penuh dengan gagasan konsep yang abstrak. Dan kita terbentuk dari cara kita memaknai konsep-konsep tersebut. Sebut saja misalnya hukum, kemanusiaan, keadilan, moralitas, kebebasan, keamanan adalah konsep-konsep yang abstrak, namun sekaligus dekat dengan hidup kita keseharian. Pemahaman kita mengenai konsep-konsep tersebut turut merumuskan siapa kita dan ingin jadi apa kita nanti.

Konsep-konsep tersebut dalam perjalanannya menjadi knowledge flow atau aliran pengetahuan dan dapat dirubah menjadi meaning of knowledge ketika kita mampu mengambil value di dalam pengetahuan itu. Entah itu perkembangan intelektual, moral, dan spiritual, tetapi juga logika, tata bahasa, dan retorika. Pengetahuan merupakan sumber daya yang paling esensial. Munculnya ilmu, teknologi, sains dapat diperoleh, jika ada pengetahuan. Bahkan substansi dari komputer dan variannya seperti artificial intelligent (AI) hanyalah alat bantu manusia untuk berpikir yang bisa mengerjakan beberapa aktifitas pengumpulan pengetahuan dan penerapannya secara efektif.

Ketika kita berbicara tentang pengetahuan, maka di sana terdapat beragam data yang harus kita proses di otak kita. Jika dulu data identik dengan angka dan teks, maka sekarang data lebih luas lagi, bisa dalam bentuk suara, video, gambar, citra, data spasial. Seiring dengan perkembangan teknologi, fenomena banjir data (data deluge) terjadi ketika pertumbuhan data lebih tinggi dari pada laju kemampuan memproses dan menganalisis data suatu organisasi. Karenanya kita memerlukan teknologi yang dapat mengimbangi laju pertumbuhan data yang meningkat seiring dengan waktu dan peningkatan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Perilaku yang bijaksana dalam mengambil keputusan yang didasarkan atas data (data driven) adalah sesuatu yang mesti dimiliki ketika berhadapan dengan perubahan kondisi lingkungan yang cepat berubah. Walau pada kenyataannya, metode saintifik dan kecederungan manusia cederung mengandalkan kemampuan manusia hanya pada dua prosedur ilmiah saja, yaitu rasional dan empiris.

Penyalahgunaan data untuk sesuatu yang bersifat vital dan menyangkut kepentingan orang banyak, jika dimanfaatkan dan diterapkan, dapat dinyatakan sebagai sesuatu kesalahan yang bersifat fatal dan merugikan. Meski di sisi lain, juga dapat dianggap sebagai sebuah ketidaksengajaan. Salah satu fallacy atau kekeliruan yang fatal dalam pengambilan keputusan dari penggunaan data kuantitatif statistik adalah McNamara Fallacy. Istilah ini erat hubungannya dengan Robert Strange McNamara, Menteri Pertahanan AS dari 1961-1968 dan yang memainkan peran utama dalam keterlibatan militer negara itu dalam Perang Vietnam. McNamara mempunyai latar belakang ekonomi, pernah bekerja di Price Waterhouse, dan mengajar di Harvard Univeristy. McNamara juga dikenal di kalangan ekonom dunia karena pernah menjabat sebagai presiden Bank Dunia setelah meninggalkan Pentagon.

Pada saat perang Dunia II, McNamara mengembangkan sistem logistik untuk serangan pembom dan sistem statistik untuk memantau pasukan dan perbekalan. Setelah perang berakhir, Henry Ford II mempekerjakan McNamara dan sekelompok veteran perang lainnya di Ford Motor Company. McNamara membantu mereformasi Ford dengan sistem perencanaan, organisasi, dan kontrol manajemen modern. Gaya “manajemen ilmiah” McNamara dengan penggunaan spreadsheet komputer yang menampilkan grafik yang menunjukkan tren dalam industri otomotif dianggap sangat inovatif pada tahun 1950-an dan banyak ditiru oleh eksekutif di Amerika pada dekade berikutnya. 

Ketika menjabat sebagai menteri pertahanan, McNamara dikenal karena membuat keputusan-keputusan yang hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kuantitatif (matrik). Beliau mengambil berbagai keputusan absurd untuk pemerintah AS selama bertahun-tahun hingga akhirnya mundur dalam Perang Vietnam. Ringkasnya, McNamara menghitung menang-kalah dari jumlah korban di kedua belah pihak. Perang direduksi menjadi model matematis. Jika korban yang terbunuh di kalangan tentara AS lebih sedikit dari tentara Vietnam, maka AS dianggap menang. Apalagi dengan penggunaan senjata pemusnah massal yang dimiliki AS pada waktu itu, seperti bom Napalm, maka dipastikan jumlah korban di pihak Vietnam jauh lebih besar. Pertanyaannya, dengan fakta tersebut bisakah disimpulkan bahwa AS menang perang?

Ternyata banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan, yang jauh lebih penting dalam aturan menang-kalah. Seiring waktu dukungan rakyat Vietnam terus berkurang, karena kesalahan AS dalam memahami ideologi perlawanan Vietnam yang diidentikkan dengan komunisme. Hal-hal lain seperti arogansi AS yang seringkali ditunjukkan, lalu mengabaikan collateral damage yang banyak terjadi, justru menjadi pertimbangan-pertimbangan yang membuat dukungan terhadap AS semakin menurun. Sebaliknya, dukungan kepada gerilyawan Vietcong semakin meningkat, yang membuat AS harus menerima kenyataan untuk mengepak persenjataan dan segera pulang kampung. Singkatnya, kesalahan McNamara adalah ketika keputusan hanya didasarkan pada angka (matrik atau statistik) dan semua faktor kualitatif yang disebutkan di atas tadi diabaikan.

Kesalahan pikir yang hanya berkutat pada hal-hal yang berbau data kuantitatif, bisa menghinggapi otoritas pemegang keputusan. Beberapa kekeliruan bisa terjadi ketika dihadapkan dalam berbagai data statistik yang berujung pada pengambilan kesimpulan dan berlanjut menjadi sebuah keputusan. Beberapa di antaranya seperti:

  1. Cherry picking, hanya memilih dan menggunakan data secara selektif agar segala sesuatu sesuai dengan hasil yang diinginkan.
  2. Data dredging, kegagalan untuk mengakui bahwa korelasi yang terjadi tentang sesuatu, sebenarnya adalah hasil yang ‘disengaja untuk menjadi betul’ ketika kita hanya memasukkan data yang mendukung hipotesis yang dibuat. Menguji hipotesis baru berulang kali terhadap kumpulan data yang sama, dan data–data yang digunakan hanya data untuk mendukung hipotesis kita, dan data yang tidak mendukung hipotesis kita tidak dimasukkan.
  3. Survivorship bias, ketika mengambil kesimpulan dari data yang tidak lengkap. Kesalahan logika karena memusatkan perhatian pada data yang dianggap berhasil melalui suatu proses dan mengabaikan yang tidak berhasil, sehingga mengarahkan pada kesimpulan yang salah.
  4. False causality, menghubungkan dua kerjadian, menyesuaikan kejadian padahal tidak ada hubungan atau mengambil asumsi yang salah ketika dua peristiwa muncul.
  5. Bias sampling, ketika menarik kesimpulan dari sekumpulan data yang tidak mewakili dari sebuah populasi.
  6. Efek kobra, merupakan situasi dimana sebuah solusi suatu masalah justru akan menimbulkan masalah, bahkan memperburuk masalah yang ada.
  7. Hawthorne Effect, ketika tindakan memantau dan memonitor justru dapat mempengaruhi perilaku manusia dan bahkan mengarah pada temuan palsu.
  8. Gambler fallacy, adalah kecenderungan untuk mempercayai bahwa kejadian positif di masa lalu terulang kembali di masa depan. Padahal terdapat kemungkinan muncul hasil yang berkebalikan dengan kondisi yang diharapkan dan kedua kejadian itu tidak mempunyai keterkaitan sama sekali.
  9. Overfitting, membuat model yang terlalu disesuaikan dengan data yang dimiliki dan tidak mewakili kecenderungan umum.

Harus kita akui dalam hidup bahwa ada hal-hal yang kita tidak mampu untuk menguantifikasinya. Katakanlah bahwa hal ini adalah sebuah proses memandang secara holistik. McNamara Fallacy bisa terjadi di berbagai bidang kehidupan kita, sekarang dan di masa depan. Bisa terjadi di pendidikan, kesehatan, keuangan, ketenagakerjaan, dan lainnya. Ambil satu contoh di dunia pendidikan. Kekeliruan di dunia pendidikan bisa terjadi apabila kualitas penguasaan sains dan matematika, dianggap sebagai total pengukuran kualitas pendidikan dan keberhasilan pendidikan siswa. Tetapi mengesampingkan pendidikan humaniora, budi pekerti, sosial kemasyarakatan, serta etika. 

Dukungan teknologi (AI), kini dan nanti

Seringkali timbul anggapan bahwa sebuah visualisasi data yang disajikan jelas, informatif, mendidik, tidak terpolitisasi, inklusif, tulus, mendukung, dan tidak menghakimi, adalah sesuatu yang benar. Padahal justru membuat kita terkecoh. Mungkin sebaiknya hal tersebut tidak dianggap sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, tetapi hanya digunakan untuk menunjukkan kejelasan, fakta, dan argumen pendukung. Apalagi ketika kita bicara tentang bangsa dan negara Indonesia. Dividen alias bonus demografi membutuhkan sumber daya manusia yang baik, pekerjaan yang berkualitas, bahkan tabungan publik yang besar. Semuanya itu membutuhkan pengelolaan permasalahan yang tepat dan data yang akurat.

Teknologi memungkinkan untuk membantu dalam mengolahnya. Seiring dengan perkembangan Internet of Things (IoT) dan telah terbukanya peta jalan AI, penggunaan sains data dan data analisis juga akan semakin meningkat. Namun sekali lagi. Orang-orang yang mempunyai otoritas perlu belajar dari McNamara Fallacy dan kekeliruan-kekeliruan memanfaatkan data statistik. Ada hal-hal tertentu yang tidak serta merta melulu diselesaikan dengan angka-angka.

Kita punya potensi intuitif, imanjinatif dan daya moral.  Potensi intuitif manusia yaitu pengetahuan apriori dimana manusia sudah memiliki kesadaran dalam dirinya sebelum bertemu dengan pengalaman-pengalaman dalam lingkungan dan dunianya. Potensi imajinatif yang berkaitan dengan ranah transpersonal atau “pengalaman spiritual yang selalu lebih menukik”. Potensi daya moral sebagai bagian moralitas dasar universal dalam merumuskan nilai-nilai kehidupan. Jika ini dipahami oleh kita, maka teknologi apapun termasuk AI yang sekarang semakin berkembang yang berkolaborasi dengan big data, akan membantu kita dalam mengungkit kemanusiaan. AI dapat mengambil porsi daya-daya rendah yang dimiliki oleh manusia ketika algoritma dimasukkan ke dalamnya. Daya rendah manusia seperti gangguan emosi, bias kognitif, kelambanan berpikir, keterbatasan otak, keterbatasan tenaga, dan sebagainya.

AI yang dikombinasikan dengan intervensi manusia menghasilkan sesuatu hal yang paling diinginkan. AI dengan sendirinya tidak akan pernah sepenuhnya menggantikan kecerdasan manusia. Namun seseorang tidak dapat mengandalkan AI, betatapun canggihnya, untuk selalu mendapatkan jawaban yang benar. AI, justru akan mendorong semakin tercuatkannya potensi luhur manusia yaitu potensi intuitif, imajinatif, dan daya moralnya, di tengah kondisi hidup yang membutuhkan resilien yang tinggi agar mampu bertahan terhadap tekanan hidup ditambah toleransi stres dan fleksibilitas tinggi agar dapat beradaptasi dalam kondisi sulit. 

Maka (biarkan saja) teknologi, bahkan AI mengambil jatah daya rendah manusia, justru manusia akan bisa meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi pengetahuan, memanfaatkan daya luhurnya. Cara pandang holistik seperti ini akan membantu kita dalam memandang segala hal yang berbau data, informasi, pengambilan keputusan vital, tanpa melupakan daya nalar, kemampuan merumuskan ide, dan pandai mencari solusi masalah. Karena itulah perlu bekerja sebagai sebuah tim. Team work.

McNamara menulis dalam memoarnya pada tahun 1995 bahwa perilakunya sendiri dalam membentuk perang adalah "salah, sangat salah”. “I’m very proud of my accomplishments, and I’m very sorry that in the process of accomplishing things, I’ve made errors.” McNamara menyimpulkan bahwa konflik di Vietnam tidak dapat dipahami hanya dengan matrik angka-angka, seperti halnya produksi mobil. Ketika dia meninggal pada tahun 2009, The Economist menceritakan 'McNamara dihantui oleh pemikiran bahwa di tengah semua penetapan tujuan dan evaluasi, perhitungan yang cermat dan analisis biaya-manfaat, berdirilah manusia biasa yang berperilaku tidak terduga”. McNamara menyimpulkan bahwa Amerika telah kalah di Vietnam karena mereka gagal memahami atau berempati dengan musuh. Matrik data memiliki tempatnya sendiri, namun gagal ketika berhadapan dengan sesuatu yang bersifat emosi dan budaya.

Filusuf John Gray mengatakan “meskipun pengetahuan ilmiah terus meningkat, irasionalitas manusia tetap tidak berubah. Angka-angka kuantitatif harus menjadi alat kita, bukan malah menjadi tirani”. Karena bagan, grafik, peta, dan diagram tidak berbohong. Orang yang mendesainnya yang melakukannya.

Pak McNamara, kami belajar dari Anda. (yip)

 

Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Dan telah Kami ilhamkan kepada jiwa itu jalan keburukan dan ketakwaannya. Pasti berbahagia siapa yang menyucikannya. Dan pasti sengsara siapa yang mengotorinya. (QS 91:7-10)

Pojokan meja, 7-8 Des. Yopie. Just an ordinary man.

Rujukan:

Bagir, Haidar, Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita, 2019

Eschner, Kat, How Robert McNamara Came to Regret the War He Escalated,https://www.smithsonianmag.com/smart-news/why-robert-mcnamara-came-regret-war-he-escalated-180961231/ , November 29, 2016

Fajria, Hana, Disaster at the Peak of Demographic Dividend, https://www.feb.ui.ac.id/en/blog/2020/11/08/disaster-at-the-peak-of-demographic-dividend/

Mahony, S. O,  Medicine and the McNamara Fallacy, Journal of the Royal College of Physicians of Edinburgh, volume 47, Issue 3, 2017

Nur, Hadi, Data fallacies to avoid, https://hadinur.net/wp-content/uploads/2021/11/data-fallacies-to-avoid.pdf

https://www.britannica.com/biography/Robert-S-McNamara

10 Keterampilan Kerja Paling Dibutuhkan Tahun 2025 Menurut World Economic Forum, https://binus.ac.id/2021/07/10-keterampilan-kerja-paling-dibutuhkan-tahun-2025-menurut-world-economic-forum/