Literasi Digital Manusia Indonesia, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 19 DESEMBER 2022
  • 2018 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_3993549470_gambar_artikel._literasi_digital_._mau_ke_arah_mana.jpg

Bagi Bangsa Indonesia yang didominasi oleh gen Z (generasi yang lahir pada 1997-2012) berjumlah 74,93 juta (27,94%) terhadap total penduduk, generasi Milenial  (generasi yang lahir pada 1981-1996) berjumlah 69,38 juta jiwa (25,87%), dan gen X (generasi yang lahir pada 1965-1980) sekitar 58,65 juta jiwa (21,88%) (berdasar SP 2020), dihadapkan dengan beberapa isu strategis geopolitik seperti ekonomi hijau yang membahas keberlanjutan lingkungan hidup dan inklusi sosial, ekonomi biru yang berfokus pada kelautan, demokrasi, transformasi digital, dan ketahanan Nusantara. Isu strategis itu muncul didasari usikan-usikan global, seperti kerapuhan planet bumi, teknologi digital yang menghubungkan dan memecahkan, meningkatnya pengutuban pada demokrasi, serta ketidak menentuan masa depan dunia kerja. 

Salah satu dari isu strategis di atas adalah transformasi digital. Sebagaimana kita tahu, pemerintah telah menyusun arah transformasi digital 2024 di mana pertumbuhan ekonomi digital harus mencapai 3,17% sampai 4,66%. Berdasarkan rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Bappenas menjabarkan bahwa setelah gerakan Making Indonesia 4.0, pemerintah akan memanfaatkan ekonomi digital untuk meningkatkan efisiensi hulu-hilir serta memberi kontribusi nilai tambah industri pengolahan secara agresif pada perekonomian. Namun ekonomi digital yang ditunjang oleh transformasi digital tak hanya semata berbicara tentang teknologi, namun juga memperhatikan unsur sosial seperti kultur dan masyarakat.

Lebih lanjut, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali (16/11/2022), Presiden Jokowi menjelaskan tiga fokus utama transformasi digital. Pertama, kesetaraan akses digital. Presiden menyebut ada 2,9 miliar penduduk dunia belum terhubung ke internet, termasuk 73% penduduk negara kurang berkembang. Fokus kedua adalah literasi digital. Melek digital bukan sekedar sebuah pilihan melainkan sebuah keharusan. Presiden mengatakan bahwa literasi digital harus menjangkau semua agar dapat berpartisipasi dalam ekonomi masa depan. Fokus ketiga adalah lingkungan digital yang aman. Hoax dan perundungan siber dapat memecah persatuan dan mengancam demokrasi. Kebocoran data akibat kejahatan siber berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga USD 5 triliun pada tahun 2024.

Namun jika kita perluas lagi cakrawala pandang kita, muara transformasi digital adalah kedaulatan digital. Pertanyaannya mampukah bangsa kita mencapai kedaulatan digital, di tengah gencarnya money, power and control yang menjadi hegemoni beberapa actor, entah itu state actor maupun non state actor? Kalau aktor negara telah jelas definisi dan contohnya, sedang untuk aktor nonnegara itu bisa terdiri atas kelompok lobi, bisnis, media, korporasi global, atau individu-individu adidaya.

Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa literasi digital adalah salah satu fokus transformasi digital. Literasi mengukur tingkat kedalaman terhadap suatu objek ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak besar terhadap pembangunan. Di era digital, peningkatan literasi menjadi sesuatu yang teramat vital dan penting. Saya coba melihat dari perspektif bagaimana kita memandang literasi digital sebagai sesuatu hal yang wajib kita kuasai sebagai anak bangsa. Literasi yang tidak mengesampingkan nilai histori dari bangsa yang bersifat religius dan gotong royong ini. Bahwa cita-cita pendiri bangsa ini bukanlah agar negara ini menjadi pemimpin dunia, melainkan menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kesadaran kita sebagai orang Indonesia dibentuk bukan hanya karena kita sekadar penduduk yang mendiami pulau-pulau di Nusantara ini, namun karena menyadari adanya potensi keberagaman dan kearifan lokal dari Aceh hingga Papua, yang sangat disayangkan sudah banyak tercemar oleh polusi limbah politik dan limbah budaya yang mengancam ekosistem kehidupan berbangsa yang ada.

Mohandas Karamchand Gandhi pernah menyebutkan bahwa ancaman yang mematikan dari “tujuh dosa sosial”, yaitu “politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan”. Jika saja penetrasi digital yang dilatarbelakangi perkembangan sains dan teknologi yang tidak diimbangi dengan literasi atau pemahaman akan hal itu, maka kehidupan bangsa yang seharusnya menjadi basis peradaban masyarakat yang madani, akan menjadi masyarakat yang jahiliyah.

Saat menjalankan transformasi digital, ketika kita menginginkan beragam bentuk automasi, robotisasi, digitalisasi yang bisa berjalan karena adanya algoritma, kita merasakan tantangan yang sebenarnya adalah manusia itu sendiri. Without a heart, it’s just a machine. Mari tanyakan kepada diri kita saat ini, sejauhmana hidup kita dikendalikan oleh algoritma. Algoritma memprioritaskan hal yang ingin kita lihat, apa yang ingin kita ketahui, apa yang kita lakukan, apa yang kita alami. Kekuatan algoritma adalah kemampuannya membuat pilihan, mengklasifikasikan, mengurutkan, dan memberi peringkat. Apa yang tampil di gawai saya, belum tentu sama tampil di gawai anda, dan itu dibuat dengan algoritma. Algoritma adalah hasil kecerdasan buatan dan seringkali mengandung bias dari pihak platform yang membuatnya, yang tidak mampu memberi konteks akan kondisi dan suasana.

Meminjam beberapa ungkapan Rhenald Kasali, telah terjadi ledakan konten dan ledakan non-degree. Ledakan konten yang secara masiv masuk ke dalam gawai kita, masuk ke ruang kerja kita, ke ruang keluarga, ke ruang tidur, ke ruang privat kita, adalah sesuatu hal yang lumrah saat ini. Ledakan non-degree, dimana yang kaum muda yang tidak memiliki gelar pendidikan tinggi juga dengan leluasa masuk ke dalam kontestasi jagad digital. Sudah banyak contohnya. Selain dari dua ledakan di atas, ledakan kejahatan berbasis teknologi digital juga semakin meningkat jumlahnya.

Di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupannya, dengan penetrasi yang konstan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia cenderung lentur dalam menerima pengaruh global, baik sifat positif maupun negatifnya. Karenanya, intensifikasi aneka pengaruh internasional memerlukan keterpaduan sistem masyarakat sipil yang kuat. Dalam kepentingan nasional, semua warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal kemasyarakatan dan kenegaraan, yang salah satunya adalah memperoleh rasa aman.

Salah satu teman diskusi pernah mengatakan, pernahkah kita terpikir bahwa perangkat yang kita gunakan atau aplikasi yang kita gunakan adalah buatan luar?. Bisa jadi kita sudah memiliki pabrikan komputer atau handphone, tetapi jenis perangkat lunak yang tertanam (firmware) pada hardware masih tergantung pihak asing. Android dengan konten lokal yang tinggi, tetapi mempunyai sistem operasi yang masih memerlukan upgrade langsung dari pihak asing. Tidak ada jaminannya pihak asing tidak memasukkan “malware code” yang spesifik menargetkan orang Indonesia. 

Karena itu manusia Indonesia perlu memutakhirkan kecakapan dalam teknologi digital yang relevan yang diimbangi dengan karakter kebangsaan, supaya memaksimalkan evolusi kemanusiaannya ditunjang dengan ilmu dan pengetahuannya. Baik itu kecakapan manusia (individu dan kelompok), kecakapan manusia yang dikolaborasikan dengan mesin, dan kecakapan mesin seperti kemajuan robotika dan kecerdasan buatan. Sebab fungsi utama ilmu dan pengetahuan yang kita miliki adalah memahamkan kita akan hakekat diri dan mengenalkan kita kepada Sang Pencipta, sebab betapapun banyaknya hal yang kita akui kita menguasainya, namun tidak bertambah pemahaman akan hakekat hidup, sesungguhnya kita tidak sedang bertumbuh. 

Terkait hal tersebut, literasi digital yang bisa kita terapkan secara individu sebagai manusia Indonesia, mengarah kepada proses belajar sepanjang hayat seperti firmanNya kepada manusia dalam Kitab Suci Al Qur'an untuk selalu membaca tantangan zaman yang ada, yaitu:

Pertama, belajar tentang membaca konteks. Era digital adalah takdir yang harus kita terima dan mesti dihadapi dengan bijak. Ada baiknya kita melihat cara pandang yang lebih luas dari penggunaan teknologi digital yaitu nilai apa yang kita dapat, apakah menambah kebaikan buat diri kita, memperluas tindak etika kita, dan memperkuat integritas. Penerapannya berhubungan dengan situasi, kondisi, waktu, dan tempat di mana yang melatarbelakangi konteks sebuah teknologi digital diterapkan. Dengan kata lain belajar untuk menggunakan teknologi digital sesuai konteksnya, apapun latar belakang kita. 

Ketika mental kita kewalahan dalam menggunakan teknologi digital itu, kita dapat mencapai titik balik ketika lebih banyak data dan simpulan di otak kita yang akan mengarah pada pola pilihan yang buruk. Apalagi manusia memang cenderung abai dan malas jika melakukan pekerjaan yang manual, rutin, berulang dan prosedural. Karenanya, fokus saja pada hal-hal positif dalam memanfaatkan teknologi digital, berkolaborasi dengan mesin, meningkatkan kecakapan. Sebab ke depan kian jamak manusia bekerja sama dengan mesin. Inilah yang disebut dengan kearifan, kemampuan untuk mengenali apa yang penting. 

Namun jangan pernah menganggap bahwa semua masalah kemanusiaan akan terselesaikan dengan bantuan teknologi, walaupun teknologi membantu manusia. Kecakapan unik manusia seperti berpikir kreatif, menafsirkan perasaan, mengungkapkan perspektif sosial tanpa kekhawatiran berlebih, justru membuat hidup lebih nyaman. Sikap yang bergantung penuh pada teknologi terkadang meninabobokan kita dalam ketidakpedulian terhadap kondisi alam dan dengan risiko yang membahayakan diri kita sendiri. Maka menjadi bagian dari entitas kearifan yang dapat menerapkan rasionalitas konteks dengan menyerap informasi yang relevan, memiliki pemahaman yang lebih mendalam, serta bijak dalam memberikan respons, gesit dalam mengambil tindakan yang memang membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, hal itu lebih dapat berkontribusi dalam membangun kemaslahatan bagi lingkungan secara nyata.

Kedua, belajar cerdas dalam menguji dan memvalidasi kebenaran. Kita berada di era pasca kebenaran, dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran dan susah membedakan informasi yang benar dan mana yang  tidak. Banyaknya gaungan narasi di media sosial, penggiringan opini, dan pembentukan citra ke arah tertentu. Formasi kebenaran di era pasca kebenaran adalah kebenaran yang tidak memiliki landasan teoritis yang jelas, disembunyikan dalam kemewahan bahasa, dan ditegaskan dengan berbagai aksesori dan bumbu-bumbu untuk menarik minat personal penerima informasi, sehingga si penerima informasi tidak dapat berpikir secara jernih dan cenderung menerima apa yang disampaikan mengenai kebenaran tersebut tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan logis. Uji kebenaran adalah sesuatu yang penting. Bagaimana caranya, tentu melalui sesuatu yang namanya belajar. Sedikit banyak kita perlu mempelajari hal-hal sosial, psikologi, kebudayaan, etika bahkan antropologi. Dimunculkannya konsepsi kebenaran di ranah publik merupakan suatu kesempatan untuk mengetahui landasan epistemologis, ontologis, maupun aksiologis dari kebenaran yang diklaim dan disebarluaskan.

Kebenaran yang mutlak dan paling hakiki tentunya kebenaran Tuhan, walaupun sekarang banyak orang yang berlaku seperti Tuhan. Pendidikan yang dibentuk hanya untuk membuat kita menjadi terpenjara di dalam otomatisasi mesin ekonomi, tidak akan menghasilkan apa-apa. Namun pendidikan yang mengantarkan orang untuk mengenal dirinya dan Tuhannya, itulah yang dibutuhkan. Keilmuan kita dalam menguji kebenaran dan menyadari bahwa apa yang kita lakukan saat ini, akan menjadi penting dalam sepekan, beberapa minggu, beberapa bulan, dan beberapa tahun ke depan. Dengan ditempatkan sebagai teks yang terbuka dengan uji publik atas suatu klaim kebenaran, keilmuan akan bergerak secara lebih dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman.

Ketiga, belajar untuk selalu ingat dan waspada. Filosofinya agar manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup di ruang digital. Kehadiran ruang publik modern menyediakan konstruksi simbolik dan wahana ekspresi identitas kolektif. Kita tidak boleh meragukan tentang sifat heterogenitasnya dunia dan globalisasi yang ada, karena pluralistik adalah sesuatu yang pasti. Cuma apakah kita sebagai anak bangsa selalu siap menghadapinya. Sebagai manusia, kita semua memiliki keistimewaan untuk dapat melakukan segala sesuatu secara sadar dan melatih pilihan berkesadaran secara spiritual, dapat menjadi solusi untuk semua penyakit manusia. Jargon profesionalisme menuntut kita mengabaikan emosi. Dalam pandangan yang sudah terlampau umum itu, memperhatikan dimensi kemanusiaan bisa merongrong efektifitas pekerjaan. Meminjam perkataan Cak Nun, kita hanya pintar memanfaatkan teknologi, tapi soal kebijaksanaan hidup belum tentu kita lebih pintar dari nenek moyang kita. Ada sungai yang namanya globalisasi, dan Indonesia kalau tak paham, akan hanya ikut arus nya saja.

Baudrillard dalam Simulacra and Simulation menjelaskan identitas masyarakat modern disibukkan dengan absurditas kode, tanda dan simbol serta bentuk mode yang diproduksi dan reproduksi terus menerus dalam jebakan realitas semu. Karenanya, ingat dan waspada sebagai sendi-sendi dasar kehidupan bangsa kita yang bersila Ketuhanan Yang Mahaesa menjadi sesuatu yang fundamental. Sifat-sifat itu mencerminkan ”satu ayat pengetahuan” yang diketahui dengan baik dan benar dan mampu diaktualisasikan secara beradab akan memberikan manfaat (kemaslahatan) yang luar biasa bagi diri sendiri dan orang lain. Berbanding dengan “banyak ayat pengetahuan” yang diketahui guna memanfaatkan orang lain untuk hal-hal yang biadab, justru akan merusak bumi seisinya (kemudaratan). Promote the bad and prevent the good (amar munkar, nahi ma’ruf) menuju promote the good and prevent the bad (amar ma’ruf, nahi munkar).

Keempat, belajar untuk mengembangkan DNA kecakapan dan keamanan berteknologi pada diri kita. Kita tahu jargon teknologi digital ini memudahkan kita, namun kita juga harus mengamankan agar kemudahan itu dilindungi dengan keamanan. DNA, akronim Deoxyribo Nucleic Acid, adalah "kode" yang digunakan di dalam sel tubuh untuk membentuk protein. DNA adalah blok bangunan dasar organisme hidup. Nah, DNA disini diterjemahkan sebagai keilmuan, pengetahuan atau keterampilan tentang bagaimana keamanan berteknologi diinstall ke diri kita. Belajar untuk tahu kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan oleh teknologi digital ini. 

Silakan pelajari kelebihan dan kelemahan dari sisi teknis perangkat, aplikasi, dan jaringan yang kita gunakan. Pilih yang sesuai kebutuhan. Pada sisi yang lebih esensi lagi, DNA keamanan mesti terbentuk pada hal programming, networking, keamanan OT (operational technology) dan keamanan IT (information technology) dan harus ditanamkan kepada para penggiat teknologi digital. Edukasi-edukasi sederhana sejak tingkat pendidikan dasar mengenai data dan informasi serta keamanannya sudah dapat menjadi perancangan bahan ajar dan bisa diajarkan di tingkat pendidikan lanjutan sampai ke daerah terpencil. Di samping itu, ekosistem digital yang sedang dibentuk mesti diawali dengan kepastian bahwa masyarakat tidak boleh sekadar menjadi objek belaka. Untuk pemerintah sendiri, DNA keamanan yang sudah mulai tumbuh, bisa lebih ditambahkan dengan adanya Quality Control firmware terhadap hardware yang masuk ke Indonesia.

Memutakhirkan kecakapan manusia Indonesia

Teknologi terbaik dan tertinggi di alam semesta ini adalah mekanisme manusia dan alam semesta itu sendiri. Keajaiban-keajaiban dunia yang selama ini dilukiskan sebagai bentuk fisik dari bangunan-bangunan atau pemandangan alam, adalah konsepsi yang dibuat manusia yang berpusat pada materi. Hingga timbullah istilah bombastis seperti 7 (tujuh) keajaiaban dunia. Padahal keajaiban dunia bisa kita rasakan setiap harinya ketika kita bangun, bernafas, melihat, mendengar, berkata-kata, mencium, berjalan, merasakan cinta, kasih sayang, bersyukur. Kuncinya adalah Kesadaran. Yah, banyak kita yang masih belum sadar bahwa hidup itu sendiri sudah merupakan keajaiban.

Ironisnya, manusia hidup dan menderita karena kecerdasan mereka sendiri. Ide pendidikan modern selama ini selalu mengajarkan bagaimana mengeksploitasi segalanya (manusia dan alam). Dari sanalah timbul kerusakan-kerusakan, baik itu kerusakan alam, kerusakan masyarakat, kerusakan diri sendiri. Apapun teknologi yang digunakan dalam membentuk peradaban manusia, dampak yang akan dirasakan, ditentukan oleh manusia yang menangani teknologi tersebut.

Jadi, pemutakhiran kecakapan manusia Indonesia dalam berkolaborasi dengan segala hal yang berbentuk teknologi digital dapat dimulai dari adanya rumusan bahwa mereka tidak dapat mengganti peran kemanusiaan yang unik. Dan hal itu berawal dari pendidikan dan pemuliaan karakter, baik itu untuk digital immigrant seperti gen X dan generasi milenial,  tetapi juga digital native yaitu gen Z dan generasi sesudahnya. Tidak perlu menciptakan manusia-manusia yang Need of Achievement (N-Ach) sangat tinggi, terjebak dengan  kata-kata toxic seperti jargon “berhasil”, “generasi muda terpilih”, “pemuda penuh bakat”, “tokoh masyarakat teladan” dan sederet pemilikan-pemilikan lain, yang ternyata memberikan kebanggaan semu. Tingkatkan saja kesempatan mendapatkan keterampilan, membangun hubungan baik dengan banyak orang, nikmati hidup, tidak salah mengartikan slogan “kerja-kerja-kerja” malah setelahnya terkena penyakit. Kerja keras adalah keharusan, tetapi juga memperhatikan keseimbangan psikis kita.

Masa depan Indonesia terletak pada tangan orang Indonesia yang terdidik baik dan di tangan pemerintah yang bersih dari oligarki dan bertanggung jawab kepada rakyatnya. Kritik, masukan, bahkan keberatan atas kebijakan pemerintah adalah bentuk pengawasan publik dan hak warga yang dilindungi konstitusi dan tidak boleh dilihat sebagai sebuah sikap anti, melainkan agar pemerintahan tersebut diupayakan semakin cakap dan berdaya. Maka dengan hal ini kita dapat menghidupkan cita-cita pendiri bangsa. Semoga semua ini bukan hanya imajinasi. (yip)

Beberapa rujukan :

Artikel Harian Kompas

Pranoto, Iwan, Pemutakhiran Manusia, Kompas, 23 Desember 2019

Murtiningsih, Pendidikan Multikultural, Kompas, 14 Mei 2022

Amilia, Dinda Lisna, Hidup Dikendalikan Algoritma, Kompas, 20 Mei 2022

Nugroho, Yanuar, Kebangkitan Bangsa, Kompas, 20 Mei 2022

Artikel Harian Media Indonesia

Hidayat, Purkon, Menatap Masa Depan Cerah Indonesia, 18 Desember 2021

 

Adzfar, Zainul, Kebenaran di era post truth dan dampaknya bagi keilmuan akidah, Fikrah, Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan issn 2354-6174 eissn 2476-9649 Tersedia online di: journal.iainkudus.ac.id/index.php/fikrah Volume 9 Nomor 2 2021, (165-182) DOI: 10.21043/fikrah.v8i1.12596

Aziz, Abdul, Ada 6 Generasi di Indonesia, Anda Masuk Mana?,https://investor.id/business/234576/ada-6-generasi-di-indonesia-anda-masuk-mana

Ciptono, Wakhid Slamet, Resensi Buku Re-Code Your Change DNA: The Rhenald Kasali’s Views on the Organizational Change Management, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 22, No. 4, 2007, 466 – 480,

Kementerian Keuangan, Presiden Sebut Tiga Fokus Utama Transformasi Digital Global, https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Presiden-Sebut-Tiga-Fokus-Utama-Transformasi

Wantiknas, Arah Transformasi Digital Indonesia,http://www.wantiknas.go.id/id/berita/arah-transformasi-digital-indonesia

Latif, Yudi, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, cetakan ketujuh, PT Gramedia Pustaka Utama

 

Channel Youtube Cak Nun

Channel Youtube Rhenald Kasali