Mode On Narasi Kependudukan Indonesia, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 20 AGUSTUS 2019
  • 6313 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_5390196704_artikel_kependudukan_indonesia_copy.jpg

Kependudukan adalah tema yang tiada habisnya untuk dibahas. Menata kelola kependudukan jika tidak hati-hati akan menimbulkan pengaruh multifaktor dalam dimensi internal sebuah bangsa dan perkembangan masyarakatnya dalam dimensi global. Untuk Indonesia sendiri, setelah proses demokrasi mempertontonkan banalitasnya di media dalam perhelatan kontestasi politik pada Pemilu 2019 dan membuat warga terjebak dalam politik identitas dan post-truth, membuat kita menaruh harapan besar pada visi pemerintahan pasangan calon terpilih, Jokowi-Ma’ruf, yaitu pembangunan sumberdaya manusia (SDM). SDM yang unggul dapat dibentuk dari pembangunan yang dilandasi dengan perspektif kependudukan yang menyeluruh, sebab membangun manusia tak semudah membangun infrastruktur fisik.

Selama dua milenium terakhir, penduduk dunia tumbuh dengan melambat. Namun seiring berjalannya waktu, dinamika ini berubah dan telah meningkat secara signifikan. Jumlah penduduk dunia mulai meningkat secara non-linier pada abad 18, meningkat secara substansial pada akhir abad ke-20 dan terus berlanjut meningkat secara eksponensial di abad ke-21. Pada Oktober 2011, penduduk dunia diperkirakan 7 miliar dan diperkirakan akan meningkat 2 miliar orang dalam 30 tahun ke depan, dari 7,7 miliar saat ini menjadi 9,7 miliar pada tahun 2050 dan dapat mencapai puncaknya menjadi hampir 11 miliar di sekitar tahun 2100 (United Nations, 2019).

Tiga pendorong utama perubahan demografi tersebut yaitu angka kematian, angka kelahiran dan migrasi yang melintas antar negara dan yang terjadi dalam negara. Para ahli demografi dunia baik dari organisasi internasional, pemerintah, akademisi, dan ilmuwan terkemuka secara intens mengeksplorasi secara mendalam terhadap kependudukan dengan mengidentifikasi, menentukan ruang lingkup, arah, karakteristik dan kekhasan, dan juga mengembangkan manajemen tindakan yang tepat.

Proses Demografi Global

Sardak et. al (2018) melakukan riset dan mengidentifikasi 4 (empat) proses demografi global yang terjadi dengan mengindikasikan cakupan gerakan demografis, penyebab kejadian, manifestasi global, konsekuensi dan perspektif di paruh pertama abad ke-21.

Proses demografi global pertama yaitu pertumbuhan penduduk yang secara permanen terjadi sebagai hasil dari peningkatan kondisi kehidupan, pengembangan obat-obatan, ketahanan pangan, penerapan ilmiahdan pencapaian teknologi, dan pembentukan institusi sosial.

Proses demografi global kedua yaitu peningkatan jumlah migrasi disebabkan oleh pembangunan sosial ekonomi daerah yang berlangsung asimetri, peningkatan kesadaran penduduk, intensifikasi hubungan ekonomi dalam lingkup internasional, penyebaran fenomena krisis, adanya konflik militer, maupun bencana alam yang memiliki dampak positif dan negatif pada pengembangan masyarakat.

Proses demografi global ketiga yaitu peningkatan arus wisatawan yang termasuk dalam pergerakan penduduk dalam suatu wilayah dan dapat memberikan pengaruh positif dan negatif secara politik, ekonomi, sosial, alam dan kebudayaan. Dalam hal positif, pertumbuhan arus wisatawan menyediakan lapangan kerja industri pariwisata, peningkatan volume investasi asing, mempromosikan pelestarian dan promosi warisan alam dan budaya, dan merangsang intelektualitas dan mobilitas penduduk. Sedang konsekuensi negatif  seperti pertumbuhan arus wisatawan dalam beberapa kasus mengarah ke kerusakan lingkungan maupun konflik sosial.

Proses demografi global keempat yaitu perubahan struktur populasi (usia, agama, budaya, dan sosial-ekonomi) dikarenakan peningkatan harapan hidup, perubahan dalam cara pandang dan komunikasi, yang secara signifikan menyebabkan perubahan sosial dalam skala global dalam hal gerakan sosial penduduk.

Logika proses demografi global memberikan peluang untuk organisasi internasional, otoritas negara dan pemerintahan lokal, perusahaan dan institusi untuk mengembangkan manajemen dan mekanisme aturan untuk pengembangan sumber daya manusia. Yang diperlukan adalah pengembangan langkah-langkah pencegahan untuk menangkal konsekwensi negatif dari proses demografis global.

Adanya proses demografi akan menyebabkan terjadinya perubahan demografis atau demographic change. Sementara perubahan demografis pasti berpengaruh terhadap arah pembangunan sebuah negara. Jadi kata kunci dari demografi itu adalah proses, perubahan, dan pembangunan. Dan isu penting pembangunan berbasis kependudukan adalah demographic dividend atau bonus demografi.

Bonus Demografi Indonesia

Bonus demografi masing-masing negara di dunia memiliki periode waktu yang berbeda-beda. Bonus demografi menggambarkan adanya pertumbuhan ekonomi yang mungkin dihasilkan dari perubahan struktur usia pada suatu negara. Pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai tanpa adanya kepastian bahwa semua perempuan dan laki-laki dapat menikmati hidup dan memperluas kemampuan mereka, mengamankan kesehatan dan hak-hak reproduksi mereka, menemukan pekerjaan yang layak sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

Ketika penduduk usia kerja memiliki kesehatan yang baik, pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, kebebasan lebih besar bagi perempuan untuk memasuki lapangan kerja formal, jumlah anak yang lebih kecil per rumah tangga sehingga menyebabkan investasi yang lebih besar per anak, dan lebih banyaknya tabungan rumah tangga untuk usia tua, pada periode itulah bonus demografi muncul.  Ketika ini terjadi, hasil ekonomi sebuah negara bisa sangat besar.

Bonus demografi diawali dengan penurunan tingkat kelahiran dan tingkat kematian, yang mengakibatkan perubahan struktur umur penduduk dimana persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) meningkat. World Bank Group (2016) menjelaskan tipologi bonus demografi  negara-negara dunia. Indikator yang digunakan yaitu pertumbuhan persentase usia produktif pada periode 2015-2030 dan angka fertilitas total pada 1985 dan 2015. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tipologi bonus demografi diklasifikasikan menjadi:

(i) pascabonus demografi jika pertumbuhan penduduk usia produktif negatif atau sama dengan nol dan TFR lebih kecil dari 2,1 pada 1985;

(ii) akhir bonus demografi jika pertumbuhan penduduk usia produktif negatif atau sama dengan nol dan Total Fertility Rate(TFR) lebih besar atau sama dengan 2,1 pada 1985;

(iii) awal bonus demografi jika pertumbuhan penduduk usia produktif positif atau lebih besar dari nol dan TFR lebih kecil dari empat pada 2015, dan

(iv) prabonus demografi jika pertumbuhan penduduk usia produktif positif atau lebih besar dari nol dan TFR empat atau lebih besar dari empat pada 2015.

Salah satu nilai tambah dari tipologi ini adalah dapat menghubungkan proses jangka panjang, yaitu perubahan demografi, dengan mengidentifikasi potensi tantangan dan peluang, termasuk yang timbul dari kesenjangan demografi di berbagai negara. Nilai tambah penting lainnya dari tipologi ini adalah menghubungkan perbedaan demografi antar negara dan peluang untuk pengembangan yang lebih besar melalui kerja sama internasional.

Samosir (2019) menjelaskan berdasarkan tipologi bonus demografi tersebut, Indonesia diklasifikasikan sebagai negara pada tahap awal bonus demografi karena pertumbuhan penduduk usia produktif Indonesia diproyeksikan positif pada periode 2015-2030 dan TFR Indonesia lebih kecil dari empat anak per perempuan pada tahun 2015. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sendiri telah menurun dari 1,49 persen (SP 2010) menjadi 1,43 persen (Supas 2015). Namun, jumlah penduduk secara absolut meningkat dari 237,6 juta pada tahun 2010 menjadi 255,2 juta di tahun 2015, dimana lebih dari 60 persennya merupakan penduduk usia produktif.

Studi yang dilakukan Samosir menunjukkan bahwa DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara adalah provinsi yang sedang dalam era akhir bonus demografi dan 28 (dua puluh delapan) provinsi yang lain sedang dalam tahap awal bonus demografi. Otomatis di Indonesia belum ada provinsi yang sudah memasuki masa pascabonus demografi dan semua provinsi sedang dalam era bonus demografi, awal dan akhir.

Singkatnya, jika pada saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia sedang berada dalam bonus demografi, maka pembangunan dalam 5 (lima) tahun ke depan untuk fokus membangun SDM yang sehat, terdidik, produktif, dan berkehidupan layak, menjadi keharusan untuk dilakukan. Oleh karenanya diperlukan kebijakan tepat sasaran pada pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Penulis berpikir di Indonesia sudah banyak ahli yang berkompeten untuk menjabarkan hal ini, ditambah dengan apa yang tertuang di dalam RPJMN 2020-2024.

Kewaspadaan Demografi

Agar bonus demografi dapat berjalan baik dan tidak menjadi bencana demografi, maka kewaspadaan demografi harus dilakukan, yaitu dengan memperhatikan:

1. Kesenjangan pembangunan yang dikarenakan oleh persebaran penduduk yang tidak merata. Contoh yang paling afdal adalah tekanan jumlah penduduk yang besar di Banten dan Jawa Barat sebagai penyangga ibukota Jakarta, menyebabkan keharusan memindahkan ibukota Negara ke Luar Jawa. Harmadi (2019) menjelaskan bahwa dalam ekonomi regional kemungkinan terjadinya fenomena people follow firm (PFF) dan firm follow people (FFP). Pada kasus PFF, penduduk memilih lokasi tinggal dengan mengikuti konsentrasi aktivitas ekonomi. Namun pada fenomena FFP, justru aktivitas ekonomi yang mengikuti dimana penduduk terkonsentrasi. Investasi memilih wilayah-wilayah yang padat penduduknya. Indonesia cenderung ke arah FFP. Tahun 2018, hampir 56 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dengan luas pulau hanya sekitar 6 persen daratan Indonesia. Jika mekanisme pasar bekerja sendiri, maka aktivitas ekonomi akan terus memilih lokasi dengan konsentrasi penduduk besar dan akan menyebabkan tekanan jumlah penduduk.

2. Ketidakpuasan sosial karena ketimpangan kemakmuran yang dialami penduduk. Dalam diskusi harian Kompas dengan Asia-Institute, menjelaskan efektivitas program sosial, seperti yang diselenggarakan Badan Pengelola Jaminan Sosial dan bantuan langsung tunai perlu dikaji dalam menurunkan ketimpangan. Angka Koefisien gini pada 2018 mencapai 0,39. Indonesia pernah mencapai 0,32 pada tahun 1980, dan 0,35 pada tahun 2007. Koefisien gini menjadi indikator ketimpangan kemakmuran dengan skor 0-1, makin tinggi angka menunjukkan makin timpang kemakmuran. Apabila ketimpangan tidak diatasi sungguh-sungguh akan menimbulkan ketidakpuasan sosial yang akan menghambat pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya konflik sosial. Selain itu masih adanya keterbatasan sarana prasarana dan aksesibilitas di daerah tertinggal, desa dan kawasan perdesaan, kawasan transmigrasi, dan kawasan perbatasan.

Menurut Bank Dunia ada 4 (empat) hal penyebab ketimpangan. Pertama, ketimpangan peluang yang terjadi pada keluarga miskin dalam mengakses bantuan pemerintah, kedua, ketimpangan dalam kesempatan kerja, ketiga, adanya konsentrasi kekayaan pada sedikit orang, dan keempat, guncangan ekonomi yang semakin sering terjadi membuat sebagian kelas menengah rentan jatuh kembali miskin.

3. Kesalahan dalam memetakan permasalahan penduduk yang memiliki kekhususan yang dapat memunculkan potensi segregasi. Perkasa (2019) menjelaskan hasil studi CSIS, kinerja pembangunan positif Jokowi tak selalu bernilai positif oleh masyarakat Papua dikarenakan ada kekhawatiran kaum pendatang akan membuat masyarakat asli Papua “punah”. Secara sederhana, migrasi dalam konteks Papua berdimensi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Oleh karenanya, berdasar diskusi Kelompok Kerja Papua, CSIS, perlu dilakukan Sensus Penduduk Papua yang lebih akurat dengan fokus pada aspek etnisitas. Selain itu masyarakat asli harus diperkerjakan khusus, pelatihan untuk meningkatkan kapasitas, dan rasa percaya diri masyarakat asli Papua dan menghilangkan rasa keterasingan. Walaupun studi CSIS di atas untuk Papua, tidak menutup kemungkinan adanya potensi konflik dikarenakan segregasi etnis dan dalam bentuk lain di wilayah Indonesia lainnya.

4. Konflik di tingkat elit.  Adanya faksi yang menimbulkan kemacetan politik dan peran utama lainnya antar elit yang berkuasa hanya untuk kepentingan elektoral atau untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi berpotensi memicu kegaduhan politik dan merembet penduduk yang berada di akar rumput. Tidak dapat dipungkiri, bahwa karakter kebangsaan harus melekat pada elit.  

5. Efek negatif dari disrupsi digital untuk kehidupan demokratisasi dan ekonomi. Pengarusutamaan transformasi digital masuk dalam RPJMN 2020-2024 untuk menjembatani pesatnya perkembangan teknologi informasi, dalam hal ini Revolusi Industri 4.0 dan ekonomi digital dengan pembangunan. Kesiapan Indonesia untuk mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital yang mampu mendorong transformasi dalam pemerintahan, model usaha dan pola hidup masyarakat juga dianggap kurang. Hal ini ditunjukkan oleh data World Digital Competitiveness Ranking tahun 2017 dimana Indonesia berada pada peringkat ke 59 dari 63 negara.

Kondisi ini sebenarnya memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas dan menggali sebanyak-banyaknya pekerja yang bisa bekerja secara online. Namun di sisi lain, perkembangan Revolusi Industri 4.0 berpotensi menyebabkan hilangnya pekerjaan di dunia. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, di Indonesia diperkirakan 51,8% potensi pekerjaan yang akan hilang dan dapat memunculkan persoalan baru. Selain itu, pada saat sekarang ini yang dibutuhkan penduduk usia produktif tak hanya lagi sekedar lapangan pekerjaan, tapi sudah harus ke mengarah pekerjaan yang layak (good jobs) (Basri, 2019).

Disrupsi digital juga memunculkan kedangkalan berpikir dan bertindak. Banjir informasi menghadirkan sejumlah dampak sosial. Problem masyarakat bukan pada bagaimana cara mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar (Syuhada, 2017). Kohesi sosial menjadi retak, karena orang tak lagi memfilter kata-kata yang dikeluarkannya. Fake news, hoax dan hate speech di ranah media sosial Indonesia menjadi masalah penting. Kecanggihan teknologi kapitalis yang serba digital menyebabkan minim kedalaman substansi bagi pemakainya. Gagasan baru dapat hancur, hanya karena adanya personalisasi yang terlalu akut oleh penggemar fanatik terhadap seseorang hingga munculnya prasangka dan praktik kegamangan terhadap perubahan zaman. Gugatan Garin Nugroho dalam orasi budaya yang dilakukan pada perayaan Hari Ulang Tahun ke-25 Aliansi Jurnalis Independen (07/08) lalu, menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus serius mengelola Revolusi Industri 4.0 bagi kesehatan nalar warga dan dibarengi pembangunan masyarakat sipil sehat, kritis, dan produktif.

6. Pendidikan karakter yang gagal fungsi. Irianto (2019) menjelaskan di Indonesia sering dikumandangkan pendidikan karakter, tetapi belum terdengar kebijakan untuk mereformasi sistem pendidikan agar mampu menghasilkan manusia Indonesia berkarakter itu. Mengingat demografi kependudukan didominasi usia produktif, maka karakter yang harus dimiliki generasi muda adalah kemampuan bekerja sama dan berbela rasa, berintegritas dan berkeadaban. Latif (2019) mengatakan usaha membangun manusia Indonesia harus dimulai dari kesadaran bersama tentang akan adanya krisis. Kita harus berhenti melebih-lebihkan capaian domestik, dengan melupakan problem besar yang kita abaikan, yaitu pembangunan manusia itu sendiri.

Peran Disdukcapil

Beberapa minggu terakhir tersedia voting lewat media sosial yang diselenggarakan oleh media online atau yang lainnya tentang nama-nama menteri yang akan duduk dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, termasuk via WhatsApp Grup yang penulis ikut di dalamnya. Banyak nama yang beredar di sana. Tetapi patut diingat bahwa agenda politik tentu diselesaikan dengan cara politik pula dimana dalam pemilihan nama-nama menteri mesti diselesaikan lewat kalkulasi politik antara partai pendukung dengan pasangan calon terpilih, yakni Jokowi-Ma'ruf.

Persoalan apakah kependudukan dan pencatatan sipil akan menjadi kementerian sendiri atau tetap bergabung menjadi Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri adalah putusan elit politik beserta pertimbangannya. Yang patut dipahami adalah kependudukan itu adalah persoalan luas dan tidak bisa diselesaikan hanya dalam satu unit induk organisasi. Kependudukan bekaitan dengan tata kelola kependudukan.

Tata kelola kependudukan itu bicara tentang hal yang lebih luas seperti pengendalian kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk (kesehatan, pendidikan), perlindungan sosial penduduk, penyebaran penduduk dalam kaitannya dengan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, penanganan kemiskinan, pembangunan ketahanan keluarga (anak, pemuda, perempuan, dan lansia), dan penataan administrasi kependudukan. Jadi dibanding namanya yang cukup berat yaitu Dinas Kependudukan, sebenarnya pengelolaan yang dilakukannya hanyalah pengadministrasian penduduk jadi bukan penatakelolaan kependudukan secara luas. Hal ini yang masih menjadi tanda tanya di benak penulis, jika regulasi Undang-Undang yang dikeluarkan adalah Administrasi Kependudukan, tetapi mengapa nomenklatur unit yang melaksanakannya mengharuskan penamaan Dinas Kependudukan, yang notabene sangat luas pengertian kependudukan tersebut. Tetapi sudahlah, toh pelaksana di daerah hanya sekedar mengimplementasikan apa yang menjadi keputusan di tingkat pusat.

Dalam RPJMN 2020-2024 menjelaskan dalam pelaksanaan perluasan cakupan pelayanan dasar dan perlindungan sosial masih banyak terkendala dengan keserasian pendataan penduduk. Data penentuan target baik pelayanan dasar maupun perlindungan sosial telah berbasis Nomor Induk Kepegawaian (NIK). Namun demikian, masih banyak penduduk yang belum melaporkan, menyelaraskan, maupun mencatatkan NIK tersebut, atau bahkan belum memiliki NIK. Sebagai konsekuensi, statistik hayati (vital statistics) yang lengkap dan valid sebagai dasar acuan penyusunan kebijakan belum tersedia.

Cakupan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil masih menghadapi tantangan dalam menjangkau wilayah sulit maupun penduduk kelompok khusus. Pelayanan administrasi kependudukan belum sepenuhnya menjangkau wilayah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T). Selain itu, administrasi kependudukan ini belum sepenuhnya terintegrasi lintas sektor. Oleh karenanya penyediaan statistik hayati yang akurat dari data lintas sektor mutlak dilakukan dan pengembangan sistem pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil berbasis teknologi informasi dan terhubung lintas sektor agar pemanfaatan data dan informasi kependudukan yang optimal dapat dilakukan.

Penutup

Agenda besar kependudukan Indonesia ke depan adalah Sensus Penduduk 2020 (SP2020) yang pada pelaksanaannya kali ini patut diapresiasi. BPS akan memanfaatkan data registrasi penduduk dari Ditjen Dukcapil melalui Metode Kombinasi (Combined Method). Kita semua berharap agar SP2020 dapat berjalan dengan lancar dan seluruh penduduk Indonesia dapat terpetakan dengan tingkat validitas yang tinggi. Membangun Indonesia Unggul dan berkarakter berdasar perspektif kependudukan yang menyeluruh adalah poin penting dalam menyongsong Abad Asia 2050 sebab di sana peran Indonesia untuk kemajuan Asia sangat dinantikan.

Masih dalam momentum Agustusan. Selamat Ulang Tahun Republik Indonesia-ku yang ke-74 tahun. Semoga dirimu senantiasa terjaga oleh sikap dan perilaku bijak kami. Persoalan kependudukan yang dimilikimu adalah persoalan besar yang harus diselesaikan dengan bijak agar manusia Indonesia menjadi manusia merdeka.

Pontianak, 20/08/2019. 10.12 - 15.41. Antara Wahidin-Sutoyo. 

Penulis

Yopie Indra Pribadi, S. Kom, M. Eng Lahir di Pontianak, 18 Juli 1977. Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pemanfaatan Data, Disdukcapil Kota Pontianak. Pernah menuntut ilmu Chief Information Officer di UGM, Yogyakarta. Memiliki minat pada membaca, IT policy, e-education, e-government, dan diskusi lintas budaya. 

 

Tags Terkait

Disdukcapil Provinsi Kalimantan Barat Wonderful Borneo Kalbar Kota Pontianak