Momentum Digital dan Kita, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 22 MEI 2018
  • 1521 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_36487575_momentum_digital.jpg

Ada sebuah syair dari Afrika berjudul Perlombaan Saat Matahari Terbit. Isinya seperti ini. “Setiap pagi di Afrika, seekor rusa bangun. Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat. Jika tidak ia akan terbunuh. Setiap pagi seekor singa bangun, ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari rusa terlamban. Jika tidak, ia akan mati kelaparan. Tidak penting apakah kita sang rusa atau sang singa. Saat matahari terbit, kita sebaiknya mulai berlari”. Syair tersebut adalah gambaran kehidupan manusia secara global saat sekarang ini yang tengah mengalami perubahan peradaban yang begitu cepat.

Memasuki abad 21 dalam kalender Gregorian – sekarang sudah memasuki dasawarsa ke-2 -  pencapaian yang mengagumkan di berbagai bidang seperti sains, teknologi, matematika, filsafat, sastra, dan lainnya cenderung mengubah pola pikir, cara dan gaya hidup kebanyakan manusia. Globalisasi yang terjadi yang diartikan sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world) semakin menjadi nyata. Dunia yang tunggang langgang (runaway world), meminjam istilah Anthony Giddens, sosiolog asal Britania Raya. Bahkan trending topic yang lebih baru untuk netizen di tanah air, Pakar Manajemen, Prof. Rhenald Kasali mengatakan adanya fenomena disruption. Fenomena hari esok yang dibawa oleh pembaru pada masa kini. Baru saja kita melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break). Dijelaskan bahwa semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, akan semakin sulit orang tersebut untuk "membaca" fenomena disruption. Teramat mungkin seseorang mengalami "the past trap" atau "success trap". Persis seperti syair Afrika di atas. Tak perlu orang pintar dan berpengalaman. Siapa yang tak siap ikut berlari, siap-siap saja tertinggal di dunia yang tunggang langgang ini.

Thomas Loren Friedman, jurnalis  The New York Times, melihat adanya tiga kekuatan besar yang menggerakkan dunia sekarang ini, yakni perkembangan teknologi, market atau globalisasi, dan perubahan iklim dan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati. Sebagai bagian dari teknologi, dampak pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini membawa manusia ke dalam dua tatanan peradaban. Eric Schmidt, CEO Google dan Jared Cohen, penasihat Kementerian Luar negeri AS untuk mantan Luar negeri AS, Hillary Clinton, dalam bukunya The New Digital Age (2014) menjelaskan bahwa dua tatanan peradaban dunia tersebut yang pertama, berwujud fisik yang sudah berlangsung ribuan tahun dan kedua, peradaban maya, yang sedang terbentuk dipacu dan dipicu oleh teknologi. Dua peradaban yang kini saling mempengaruhi dalam membentuk equilibrium. 

Apa yang dijelaskan di atas tadi, menggambarkan bahwa sebagian besar kita sedang berada dalam apa yang penulis gambarkan sebagai momentum digital. Jika di dalam fisika, momentum berhubungan dengan kecepatan dan massa suatu benda, maka momentum digital adalah saat dimana kesenjangan digital antar lini, daerah, batas-batas wilayah, negara, dan bangsa, dan juga generasi semakin tergerus disebabkan “massa” limpahan perkembangan teknologi dimana “kecepatan” teknologi berkembang tidak dengan jalan linear melainkan  berlipat (Moore’s Law). Kalau dulu sering dibicarakan tentang kesenjangan digital, sekarang akselerasi TIK yang terjadi justru membuat membuat geleng-geleng kepala bahkan sedikit pening memikirkannya. Perubahan tata nilai kehidupan pun menjadi hal yang pasti terjadi. Dari kantung-kantung kemiskinan maupun kantung marjinal di belahan negara di dunia (apalagi di Indonesia) sampai kaum pemilik modal yang mendikte pasar dengan hegemoni ekonominya. Karenanya, terjadi kontradiksi dalam kehidupan masyarakat postmodern. Di satu sisi, terjadinya gerakan de-tradisionalisasi dan berkembangnya kosmopolitanisme. Di sisi lain, terjadi individualisasi dan penguatan identitas yang berlindung pada berbagai kelompok dan institusi sosial (Beck,dalam Hunton dan Giddens, 2000). 

Practice sharing

Pertanyaan mendasar adalah apa yang harus kita cermati dalam momentum digital ini.

Pertama. Kita kembali ke TIK dimana kekuatan informasi adalah yang menjadi senjata utama. Informasi melekat pada teknologi digital sebagai platformnya. Sedemikian populernya sebuah kata informasi tersebut, sehingga kegandrungan masyarakat akan pencarian substansi (ataukah hanya artifisial) dari sebuah nilai informasi menjadi penting. Tak ubahnya, pencarian ke dalam hakekat kemanusiaan itu sendiri. Atau mungkin sekedar penghamburan biaya sosial ekonomi yang dilekatkan kepada piranti yang mengusung informasi itu sehingga dapat diakses. Informasi menyediakan data, fakta dan catatan-catatan realita yang diambil dari hal-hal yang ditemui dalam kehidupan manusia yang memakainya. Informasi bisa dimanfaatkan oleh berbagai lapisan struktur sosial kemasyarakatan dengan asumsi dan kesimpulan mereka sendiri.

Kedua. Lain halnya dengan komunikasi. Banyak bertebaran pendapat ahli perihal komunikasi, namun intinya adalah terjadinya proses pertukaran informasi antara sumber dan penerima. Komunikasi melibatkan bentuk penggunaan bahasa dalam lingkup interaksi sosial yang memungkinkan terciptanya perbedaan interpretasi. Peradaban maya dimana informasi yang dikomunikasikan  hadir dalam bentuk yang masiv dan berjejaring dapat mempengaruhi persepsi, cara berinteraksi dan berwacana seorang individu. Komunikasi bisa membentuk kontrol atau bahkan chaos of information.

Lalu, bagaimana sebenarnya kita harus mensikapi momentum digital dalam dunia yang tunggang langgang ini?. Opini berikut ini bukanlah opini yang bersifat ideal. Namun sedikit banyak knowledge sharing dapat terimplikasi hingga menjadi practice sharing bagi kita semua, termasuk penulis sendiri. Istilah teknologi dapat digambarkan sebagai TIK.

Pertama, teknologi memang penting, namun dia bukanlah satu-satunya hal yang penting dalam hidup. Masih banyak yang juga penting dalam hidup. Seperti kualitas spiritual, hubungan keluarga, relasi sosial terdekat yang tampak dalam dunia nyata (terkadang absurd dengan dunia maya), hubungan kemasyarakatan, dan kedekatan dengan alam sekitar.

Kedua, teknologi pasti berubah terus dan terus. Hasrat primordial dan kerakusan untuk memakai atau menggunakan sesuatu yang baru dalam konteks kemanfaatan harus dibarengi dengan sifat yang bijak pada diri. Sebab kalau bukan kita yang bijak, siapa lagi?.

Ketiga, teknologi berinteraksi dengan kebudayaan, persepsi, dan perilaku individu dan sosial. Tidak bisa terbendungnya kebebasan berbudaya, dimungkinkan akibat meluasnya pengetahuan atau makin mendalamnya permenungan (Sen, 2007), yang salah satunya diakibatkan peran teknologi. Teknologi memiliki dua mata sisi. Satu sisi prakarsa-prakarsa kemaslahatan masyarakat mendapat sumbangan konstruktif, di sisi lain sifat destruktif teknologi semakin menyeruak. Wujudnya mungkin bisa disimpulkan sebagai asymmetric war atau perang asimetris dari suatu bangsa terhadap bangsa lain dengan soft military (atau mungkin dilakukan oleh internal bangsa sendiri?). So, kewaspadaan adalah hal yang paling bisa dilakukan oleh seorang individu dalam konteks kecil dan sebuah bangsa dalam skala besar.

Keempat, dalam bukunya Thank You for Being Late (2016), Thomas Loren Friedman, menjelaskan perlunya refleksi mendalam dengan mengambil waktu jeda dalam hidup kita. Waktu jeda ini supaya kita bisa menilai keruwetan hidup dan membuka kesempatan yang mungkin diraih terhadap perkembangan teknologi yang ada.

Kelima, masih menurut Friedman, berpikirlah tanpa kotak. Mungkin saja dengan begitu akan kita temukan sesuatu yang baru dan berdaya guna untuk masyarakat kita. Bagi Friedman, orang harus belajar menjadi pribadi yang mempunyai sifat stabilitas dinamis, yaitu mencintai perubahan, namun tetap menjaga stabilitas. Sedikit tambahan penulis mesti ditambah dengan kemauan bekerja sama dan belajar mengelola risiko. Jika kita seorang birokrat atau pemimpin dalam pemerintahan, lihatlah celah ini dengan tetap mempertimbangkan stabilitas sosial kemasyarakatan.

Keenam. Lagi-lagi menurut Friedman. Setelah melakukan refleksi mendalam dan berpikir tanpa kotak supaya timbul langkah-langkah baru yang kreatif, perlu kembali ke akar. Apakah akar itu?. Yaitu rumah dan bangsa kita sendiri. Sebab semua itu tidak akan berguna jika tidak bermanfaat bagi tempat tinggal kita. Istilah stemphaty yaitu orang-orang yang memahami teknologi dan memiliki sifat empati yang tinggi menjadi sesuatu yang hal perlu ditumbuhkan. Tujuannya agar pemahaman akan teknologi bisa memupuk rasa hormat, rasa saling hormat, dan rasa kesatuan dalam kemanusiaan.

Ketujuh. Fokus agar tetap terjaga stamina mental dan tahu kapan harus menambah energi, kapan harus menahan diri, kapan maju, sambil mengamati semesta bergerak. Fokus bukan karena jabatan, kedudukan, dan pencapaian artifisial. Istilah sekarang boldness atau kekuatan wawas diri (Rachman, Manuputty, 2017).

Delapan. Seperti firman Allah SWT dalam Kitab Suci Al Qur’an. Watawa shaubil haq. Watawa shaubis shobr. Saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Sebab apalagi yang bisa dilakukan sesama kita dalam konteks kemanusiaan., selain dari saling mengingatkan?. Bahkan orang yang mengaku beriman dan beramal sholehpun, punya potensi untuk kehilangan fokus once in a life time dalam hidupnya. Jadi apa yang mau disombongkan?. Sebab Manusia itu adalah selalu dalam kerugian atau berpotensi merugi secara fisik dan mental, lahiriah dan batiniah, jika potensi ketidakmampuan mengolah waktu dalam hidup menyembul dan mendominasi. Belajarlah dari sejarah, sebab sejarah terus dan akan berulang dalam kehidupan. Jatuhnya sebuah peradaban manusia akan terjadi, manakala kita membiarkan kemajuan (salah satunya karena teknologi) meruntuhkan nilai kemanusiaan. Manusialah yang harus mampu beradaptasi dan mengendalikan diri terhadap teknologi.

 

Penutup

Kembali ke tanah air kita. Tahun 2018 buat Negara kita adalah tahun politik, sebab sebagian Kabupaten/Kota akan melaksanakan Pilkada Serentak. Pasti akan banyak berkeliaran fitnah, permainan politik dan isu lainnya. Pemanfaatan TIK jelas sekali digunakan di situ. Momentum digital berperan besar. Perang informasi akan terjadi. Tapi sekali lagi, demokrasi bukanlah melulu soal pemilu, jumlah kursi partai, partisipasi pemilih, data pemilih dan hak pilih. Pemilu esensinya menunjukkan urun rembuk dan penalaran publik, yaitu pemerintahan melalui permusyawaratan, seperti apa yang diungkapkan oleh Amartya Sen. Teknologi yang berperan dan seluruh konteks yang ada di dalamnya harus dipakai secara bertanggung jawab.

Semoga kita tidak akan tunggang langgang dalam momentum digital. Atau seandainya memang benar tunggang langgang, paling tidak kita tidak kehilangan akal dan harapan. Seperti petuah bijak Jalaluddin Rumi, “Burung terbang dengan kedua sayapnya. Seorang yang berakal terbang dengan tekadnya”.

Selamat menyambut pergantian tahun dengan kewajaran dan doa. Semoga kita dijadikan tetap berakal, diberkahi kekuatan dan bergantung penuh pada Sang Maha Kuat untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Amien.

@omahe nenekku, Jetis Surabaya. Kamis, 28 Desember 2017, 23.57. E pluribus unum.

Penulis

Yopie Indra Pribadi, S. Kom, M. Eng, Kasi Kerjasama dan Inovasi Pelayanan, Disdukcapil Kota Pontianak.

Lahir di Pontianak, 18 Juli 1977, seorang penikmat sepakbola yang kagum pada filsuf sekaligus inovator dan inventor taktik sepakbola bernama Johan Cruyff, pernah menuntut ilmu Chief Information Officer di UGM, Yogyakarta. Memiliki minat pada membaca, IT policye-educatione-government, dan diskusi lintas budaya. Pengalaman di bidang pemerintahan diantaranya pernah bekerja di Kantor Informasi dan Komunikasi, Bagian Umum Sekretariat Daerah, Badan Kepegawaian Daerah dan yang paling lama di Disdukcapil Kota Pontianak.

Catatan : tulisan ini sudah diposting pada laman web Disdukcapil yang lama pada tanggal 28 Desember 2017 dan sudah diakses sebanyak 137 kali

Tags Terkait

Disdukcapil Provinsi Kalimantan Barat Wonderful Borneo Kalbar Kota Pontianak