Era kekinian makin mencirikan diri dengan kekayaan karya teknologi dan informasi. Tak heran gagasan smart city yang sedang geliat di 100 kota di Indonesia saat ini mengakumulasikan berbagai aplikasi dan merancang keberadaan berbagai teknologi untuk mengunci program 'Quick win' pada pelayanan publik perkotaan.
Pemerintah pun dituntut ‘bergaul’ dengan lebih banyak technology partner/ industri partner, asosiasi/ komunitas/ akademisi/ konsultan dan tentu saja media partner. Sehingga banyak pemerintah kota di Indonesia berlomba-lomba menggunakan sebanyak mungkin aplikasi. Karenanya sempat ide smart city Kementerian Komunikasi dan Informatika ini dirasakan hanya kaya aplikasi tanpa pencapaian pelayanan dan kepuasan masyarakat.
Terlihat dari kota-kota yang sudah memaksimalkan teknologi informasi, masih mendapatkan kritik atas pelayanan dari masyarakat dan expert citizen baik secara formal maupun menggunakan jalur pengaduan. Sistemnya canggih, tapi masyarakat masih harus menemukan front office yang bermuka masam, melayani sambil main smartphone dan tidak memberikan penjelasan dengan baik dan benar. Aplikasinya mudah, tapi tidak mau diupgrade ketika ada testimoni usulan penggunaan dari warga dan terutama lagi lamban tanggapan pengelola/ admin. Teknologi digunakan di tiap pelayanan publik, namun minim pengguna karena lemah mensosialisasikan. Birokrasi informasi yang membingungkan warga bahkan terkesan tumpang tindih. Nah contoh tersebut tentu bukan faktor tools dalam pekerjaan tapi faktor manusia.
Ringkasnya, secanggih apapun masterplan smart city dan teknologi komunikasi dan informasi pelayanan yang dirancang, masih terkendala oleh adanya patologi birokrasi, maka akan menjadi hambatan tersendiri, bahkan signifikan. Apa itu patologi birokrasi?.
Risman K. Umar, pemerhati politik asal Gorontalo mengartikan Patologi birokrasi sebagai analogi penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Detailnya, Sondang P. Siagian menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai diantaranya penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, pengaburan masalah, indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme, indikasi mempertahankan status quo, Empire bulding (membina kerajaan), ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, ketidakpedulian pada kritik dan saran, takut mengambil keputusan, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi, kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif, minimnya pengetahuan dan keterampilan dan lain-lain.
Patologi birokrasi itu sendiri bila menggunakan terminologi Smith berkenaan dengan kinerja birokrasi yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar. Pertama, Disfunctions of bureaucracy. Hal ini berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek. Sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi. Di Indonesia hal ini tampak adanya fragmentasi atau perubahan nomenklatur kementrian hingga pemerintah daerah yang belakangan terkesan ganti nama dan pelebaran serta pemangkasan tupoksi yang tidak menyelesaikan problem pelayanan yang klasik. Kedua, Mal administration. Hal ini berkaitan dengan ironi makin apiknya penggunaan teknologi dalam pelayanan, pengadaan barang dan jasa hingga pengawasan kinerja namun masih berhadapan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, perilaku korup, tidak sensitive, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias. Erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi.
Maka dari itu, seiring pelayanan publik di perkotaan yang semakin smart konsep dan bentuknya, birokrasi pun harus punya keunggulan yang berbanding lurus dengan perkembangan itu. Yang pertama adalah melakukan perbaikan struktur administrator secara menyeluruh. Mengembalikan lagi filosofi keberadaan birokrat untuk berbagai kepentingan masyarakat, bukan meraih keuntungan/ financial sebagaimana perusahaan. Pelayan masyarakat menjadikan pekerjaannya juga salah satu ibadah, digaji dan diganjar pahala. Dibangunlah manajemen dan pertanggungjawaban pelaksaaan tugas yang seragam. Tidak boleh menimbulkan ambiguitas menterjemahkan perintah dan menutup ruang evaluasi dari masyarakat. Sehingga reformasi birokrasi tidak memaksakan ganti personil, ganti nama instansi dan memangkas birokrasi. Kualitas birokrat diarahkan mampu mengatur berbagai interaksi dalam pemerintahan, meningkatkan kemahiran pada teknologi, memperbaiki komunikasi publik, penjaminan kebutuhan tubuh birokrasi dan perkara pelayanan yang memudahkan masyarakat.
Yang kedua adalah membangun tata aturan. Patologi birokrat yang berdampak hukum seperti korupsi dan gratifikasi membutuhkan perangkat aturan dan sanksi. Dengan adanya aplikasi dan teknologi sebetulnya telah mengurangi tatap muka dalam pelayanan, namun masih saja ada celah patologis yang harus jeli diperhatikan oleh hukum. Pembentukan supremasi hukum harus didukung kepemimpinan yang adil dan kuat, alat penegak hukum yang bersih dari kepentingan politik serta adanya pengawasan yang tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga adalah menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Jika saat ini perangkat kerja sudah terstandardisasi dan terukur dengan satu aplikasi terpadu, buah dari e-Government. Semula diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan / keperluan. Birokrat yang dipimpin kepala eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi di lembaga legislatif. Umumnya fungsi pengawasan menjadi tidak kuat dan tidak independen.
Mendukung Pontianak smart city, mari kita benahi pula fungsi birokrasi. Birokrat yang bisa sebagai penyelesai masalah serta menghindarkan diri dari sumber masalah. Tidak akan berguna sarana dan prasarana yang dibangun, jika penggunanya tidak memahami apa filosofi pelayanan dan pentingnya kualitas diri dalam lingkungan birokrasi yang sehat.
Penulis
Yeni Arissa, S. STP. Lahir di Singkawang 11 Maret 1984, memiliki minat pada kajian politik dan parenting programs. Pernah ditugaskan di kelurahan dan sejak 28 Januari 2018, tercatat sebagai staf pengelola kepegawaian Disdukcapil Kota Pontianak. Saat ini sedang menyelesaikan tugas belajar keilmuan politik dan pemerintahan (Kandidat Master Sosial) di Universitas Brawijaya Kota Malang.