Bicara mengenai teori sosial kependudukan, siapa yang tak kenal Thomas R. Malthus. Pusat perhatiannya adalah pertumbuhan penduduk dan persediaan pangan. Dijelaskan bahwa jumlah penduduk yang cenderung naik menurut deret ukur sementara persediaan pangan berkembang lambat menurut deret hitung.
Ternyata teori Malthus yang menekankan terbatasnya tanah dan pangan untuk memenuhi kebutuhan manusia tidak seluruhnya benar, Lester R. Brown dan rekan-rekannya pada tahun 1976 memiliki pengecualian. Setelah membaca karya mereka Twenty Two Dimentions of the Population Problem, perhatian tunggal Malthus terhadap analisa penduduk menyebabkan kurangnya perhatian pada berbagai akibat pertumbuhan penduduk misalkan makin seriusnya bidang penelitian oleh ahli pangan, ahli pertanian, ahli cuaca, ahli lingkungan, ahli ekonomi dan ahli-ahli lain. Alaminya, problem pangan dunia bisa teratasi mengikuti pertumbuhan penduduk.
Sayangnya, secara politik teori Malthus selalu dibincangkan terutama di negara-negara berkembang. Deraslah intervensi pada negara berkembang untuk tetap beriman pada teori Malthus. Sehingga kita akan menemukan berbagai macam masalah yang garis besarnya akan kita ungkap pada tulisan ini.
Pertama, di bidang pendidikan. Susunan kelompok umur yang berbentuk piramida pertumbuhan penduduk, menyumbangkan rasio yang semakin kecil antara guru terlatih dengan anak usia sekolah. Padahal jika kita lihat persentase penduduk yang bisa mengenyam hingga perguruan tinggi senantiasa meningkat dan menyumbangkan angkatan kerja di dunia pendidikan. Semua formasi kebutuhan pendidik dipastikan terisi. Sehingga kebutuhan manusia untuk sekolah yang kian bertambah, berbanding lurus dengan kesediaan guru terlatih. Akan tetapi, banyak negara berkembang yang komitmen dengan wajib belajar namun terbentur alasan dana, mulai mengabaikan tujuan dengan mengkapitalisasi dunia pendidikan. Namun entah mengapa sekali lagi, abai terhadap upaya guru honorer yang sudah mengisi ruang kekosongan, tidak dapat dihargai dengan mengangkatnya sebagai pegawai negeri dan telah mandiri upgrading kualitas. Seharusnya pertumbuhan penduduk jangan disalahkan, tapi kualitas kebijakan pendidikan -yang lahir dari aktivitas politik kenegaraan- dalam waktu sesingkat-singkatnya memerlukan revisi. Untuk sekaligus mengakhiri problem baca tulis atau dunia pendidikan yang tak akur dengan politik, karena sedikit tokoh politik yang konsen dan berhasil pada program populis ini.
Kedua, di bidang kesehatan. Masyarakat luas sudah makin sadar akan adanya ancaman pencemaran lingkungan. Penelitian Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan adanya kaitan antara kepadatan penduduk dengan pencemaran udara. Bahan sintesis yang banyak masuk ke dalam lingkungan bisa sangat merusak. Dari kepemilikan kendaraan pribadi, keperluan pembangkit tenaga listrik yang lebih besar hingga industri yang meningkat sangat tajam. Yang paling sederhana yakni pencemaran biologis yang dilakukan manusia berwujud sampah. Hal ini diikuti pencemaran air dan kekumuhan lokal dalam kota. Inilah mengapa usaha keras harus terus dilakukan ilmuwan dan pemerintah. Tidak mengakhiri membludaknya penduduk dengan Vice Positive Checks ide Malthus, yang mana menurutnya adalah dengan membunuh manusia tak berkualitas seperti orang-orang cacat dan lanjut usia. Sangat tidak manusiawi.
Di bidang kesehatan kita pun menemukan problem makin sempitnya ruang tamasya, penataan kota dan pemukiman penduduk, ketidakjelian terhadap bencana dan perubahan iklim, masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan serta kapitalisasi dibalik program pengendalian penduduk.
Ketiga, di bidang pangan. Terbatasnya tanah dan sumber daya di daratan, membuat manusia berbondong-bondong bisa memenuhi protein hewani dari perikanan samudera yang diawali dari negara Jepang. Kini Jepang menjadi negara pengkonsumsi ikan terbesar di dunia. Semakin meningkat konflik batas laut adalah seiring bertambahnya eksplorasi laut oleh banyak negara. Semestinya hal ini bukan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Kita lihat bagaimana praktek-praktek penangkapan ikan samudera dan perairan dunia dengan cara besar-besaran monopolistik tanpa batasan akan merusak habitat ikan dan menurunkan hasil ikan jangka panjang. Pelaku pelanggaran tentu saja tak cukup hanya ditenggelamkan kapalnya. Namun sorotan publik terhadap ikan seharusnya menjadi bahan kaji negara untuk melibatkan hukum dan kearifan lokal dalam menjaga biota laut serta meningkatkan kerjasama berasas keadilan dengan negara tetangga. Sehingga siapapun dimanapun bisa merasakan ikan secara merata.
Keempat, di bidang ekonomi. Menurut Lester R. Brown dan rekan, inflasi dapat terjadi bila permintaan melampaui persediaan atau dorongan pembiayaan atau persediaan yang sangat terbatas atau terputus atas bencana alam atau peperangan atau pemogokan. Kondisi serba langka akan menyentuh langsung kalangan miskin. Kalau mau jujur di dalam sistem kapitalisme, tantangan inflasi inilah tantangan terbesar para pemimpin politik. jika tak dapat tegas dengan standar keuangan yang lebih stabil seperti emas, maka hanya bisa bertahan dengan standar kepemilikan dolar dalam keseluruhan kebijakan moneter dan anggaran. Karena dunia usaha selalu membutuhkan kepastian moneter, jika dengan standar emas pada mata uang dunia, maka akan lebih predictable dan memacu pertumbuhan ekonomi sektor rill. Sayangnya secara global solusi seperti ini tidak mau diperhitungkan karena akan merugikan pemilik dolar yang sedang menguasai dunia. Padahal sudah tak dapat dielak, kapitalisme sudah cukup lama gagal menjalankan amanah menyelesaikan kehidupan penduduk yang berdesak-desakan, angka pendapatan penduduk, urbanisasi, pengelolaan hasil tambang, peningkatan pengangguran, masalah energi dan kebebasan perorangan dalam mengakses sumber ekonomi.
Bidang ekonomi pun harus menyegerakan penyelesaian kelaparan dunia, penggembalaan yang melampaui batas, penggundulan hutan dan lain-lain. Padahal dengan adanya difersifikasi pertanian, subsidi biaya produksi hingga kebijakan politik pangan yang tepat maka akan mengurangi beban pertumbuhan kesediaan pangan dunia.
Demikianlah sekelumit problematika politik kependudukan. Di saat perbincangan solusi yang ditawarkan Malthus masih berseliweran, ternyata justru menyimpan banyak kekurangan jika diterapkan oleh para pemimpin politik dunia. Negara berkembang lah yang menjadi korban atas seiring sejalannya kapitalisme dan Malthusian. Bahkan kita pesismis, selagi kapitalisme menjadi kacamata memandang problematika politik kependudukan ini, maka akan lahir terus kebijakan baru namun memunculkan masalah yang lebih besar. Jika begini, harus dilakukan perombakan secara sistemik, agar tidak makin memperkeruh urusan politik kependudukan global.
Malang, 1 November 2018
Penulis
Yeni Arissa, S. STP. Lahir di Singkawang 11 Maret 1984, memiliki minat pada kajian politik dan parenting programs. Pernah ditugaskan di kelurahan dan sejak 28 Januari 2018, tercatat sebagai staf pengelola kepegawaian Disdukcapil Kota Pontianak. Saat ini sedang menyelesaikan tugas belajar keilmuan politik dan pemerintahan (Kandidat Master Sosial) di Universitas Brawijaya Kota Malang.