Permasalahan stunting merupakan masalah terkait status gizi yang masih “menghantui” beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Pastinya, jika suatu negara mempunyai penduduk berstatus gizi stunting, maka sudah pasti negara akan mengalami suatu kerugian. Negara akan mempunyai generasi muda yang mempunyai gangguan diantaranya pertumbuhan tubuh, metabolisme, perkembangan otak, dan kecerdasan. Banyak studi yang menyatakan bahkan anak yang berstatus gizi stunting akan berpendapatan yang lebih rendah saat menjadi dewasa. Hal ini terjadi karena kemampuan kognitif dari generasi stunting sangat rendah, sehingga jika dibandingkan dengan generasi yang berstatus gizi normal produktivitas kerjanya lebih rendah.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study). Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) (TNP2K- Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).
Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional. Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Pusdatin Kemenkes RI, 2018). Meskipun stunting di Indonesia sudah mengalami penurunan sebesar 6,4%, yang disampaikan pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), akan tetapi masih terdapat 30,8% data stunting yang harus dihadapi. Kalimantan barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki masalah prevalensi stunting yang tinggi dibandingkan dengan prevalensi stunting nasional yaitu sebesar 36,5persen (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Sebuah skim Penelitian DosenP emula (PDP) yang didanai oleh Kemenristekdikti, dilakukanoleh Dedy Alamsyah, S.K.M., M.Kes (Epid) bersama Otik Widyastutik, S.K.M, MA pada pertengahan tahun 2020, untuk mengetahui prevalensi kejadian stunting pada balita (12-59 bulan) di Pontianak Tenggara Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan di wilayah Pontianak Tenggara dengan melibatkan sampel berjumlah 287 ibu balita yang ada di wilayah tersebut. Dalam proses analisis data, digunakan uji statistika, yaitu uji Chi Square, untuk menganalisis semua variabel yang diteliti. Melalui analisis data yang berskala nominal dengan menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95% (α= 0,05), didapatkan hasil penelitian yang tidak hanya menyebutkan data prevalensi kasus stunting itu sendiri, akan tetapi hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa, terdapat tiga determinan yang dapat mempengaruhi kejadian stunting. Tiga determinan tersebut diantaranya adalah, adalah asupan protein kepada bayi, riwayat penyakit diare bayi, dan usia melahirkanyang terlalu muda.
Yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah munculnya variabel tentang usia melahirkan yang terlalu muda, yang merupakan bagian dari “4T”, yaitu melahirkan Terlalu Muda, Terlalu Banyak (anak), Terlalu Rapat (jarak kelahiran) dan Terlalu Tua. Pencapaian kesehatan reproduksi melalui pendekatan 4T ini selalu disosialisasikan oleh pemerintah bersama dengan BKKBN, untuk menciptakan penduduk berkualitas dalam program Kampung KB. Terlalu Muda misalnya ibu hamil pertama usia kurang dari 21 tahun secara fisik kondisi rahim dan panggul belum berkembang secara optimal. Terlalu Tua misalnya ibu hamil pertama pada usia kurang lebih 35 tahun dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayinya. Terlalu Rapat yang dimaksud di sini jarak antara kehamilan pertama dengan berikutnya kurang dari 2 tahun yang menyebabkan dapat menghambat proses persalinan seperti gangguan kekuatan kontraksi, kelainan letak, dan posisi janin. Terlalu Banyak Anak misalnya ibu pernah hamil dan melahirkan lebih dari 2 kali yang menyebabkan dapat menghambat proses persalinan, seperti gangguan kontraksi, kelainan letak dan posisi janin, dan perdarahan pasca persalinan.
Ternyata, Dedy Alamsyah, dalam penelitiannya, membuktikan bahwa dari total 33/287 bayi yang teridentifikasi mempunyai status gizi stunting, terdapat sebanyak 26 (78,8%) ibu yang melahirkan bayinya saat usianya terlalu muda (<20 tahun). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Purwanti dan Trisnawati (2016) bahwa usia reproduksi perempuan adalah 20-35 tahun. Pada usia kurang dari 20 tahun maka organ-organ reproduksi belumberfungsi sempurna sedangkan pada usia di atas 35 tahun telah terjadi penurunan reproduktif.
Melakukan pernikahan sesuai dengan undang-undang adalah sangat penting karena bukan tanpa alasan pemerintah menerbitkan aturan tersebut. Dalam membina rumah tangga diperlukan suatu kesiapan tidak hanya mental, tetapi juga “paket lengkap”, termasuk fisik (terutama kesehatan reproduksi) dan hal finansial. Sisi keuangan akan menjadi polemik tersendiri dalam rumah tangga jika tidak dapat dipikirkan dan disiapkan sejak sebelum terjadi pernikahan. Diharapkan dengan kesiapan-kesiapan tersebut, asupan gizi yang dibutuhkan mulai sejak janin hingga anak bertumbuh kembang menjadi anak yang sehat akan tercukupi dan penduduk yang berkualitas dapat dicapai. Hasil penelitian Dedy Alamsyah menyatakan, bahwa dari total 33/287 bayi yang teridentifikasi mempunyai status gizi stunting, terdapat sebanyak 18 (54,6%) bayi asupan proteinnya kurang baik (<100 AKG).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka diharapkan bahwa promosi tentang “4T” yaitu melahirkan Terlalu Muda, Terlalu Banyak (anak), Terlalu Rapat (jarak kelahiran) dan Terlalu Tua, selalu dilaksanakan, terutama sejak usia remaja. Kerjasama dengan semua stakeholder dan lintas sektor, misalnya dengan sektor pendidikan dan keagamaan, akan sangat bermanfaat dalam kesuksesan kegiatan promosi. Peningkatan kognitif pada generasi muda, yang akan menjadi calon orang tua, akan dapat mencegah terjadinya “4T”, sehingga risiko tejadinya stunting dapat dikurangi.
Editor: YIP
Penulis : Otik Widyastutik, S.K.M., M.A., lahir di Sidoarjo, 2 Oktober 1980 ini memiliki minat pada Promosi Kesehatan. Saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Pontianak, anggota Komisi Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Koalisi Kependudukan Indonesia Kalimantan Barat 2021-2025