Wajah manusia memiliki karakteristik yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Sekalipun pada anak kembar, pasti tetap akan ada perbedaannya. Karenanya pengenalan wajah adalah salah satu sumber identifikasi yang diperlukan selain pemindaian biometrik lainnya, misalnya sidik jari. Istilah Face Recognition Technology atau Teknologi Pengenalan Wajah (selanjutnya disingkat dengan TPW) adalah teknologi yang mampu mengidentifikasi atau memverifikasi subjek melalui gambar, video, atau elemen audiovisual apa pun dari wajah seseorang. TPW terus mengalami proliferasi yang luas pada saat ini.
TPW memberikan identifikasi pribadi yang murah dan andal yang dapat diterapkan di banyak bidang. Beberapa diantaranya seperti untuk mengidentifikasi pelaku kejahatan, memperkuat langkah-langkah keamanan, membantu menemukan orang hilang, mendiagnosis penyakit, membantu investigasi forensik, membantu penyandang disabilitas tuna netra, mengidentifikasi orang di platform media sosial, membuka ponsel, kontrol akses area sensitif seperti laboratorium, ruang rapat, brankas bank, dan lokasi sensitif lainnya, memfasilitasi keamanan transaksi keuangan, dan validasi identitas di Anjungan Tunai Mandiri.
Namun di balik keberadaannya yang memudahkan dan membantu kita sebagai manusia, pertanyaan terbesarnya adalah seberapa akuratkah TPW itu? bisakah TPW melakukan kesalahan?, risiko apa yang mungkin timbul terhadap penggunaan TPW?. Tulisan sederhana berikut menyajikan ruang diskusi tentang TPW.
Studi pengenalan wajah berkaitan dengan pengenalan pola, penggunaan kecerdasan buatan agar komputer dapat memperoleh pemahaman tingkat tinggi dari gambar atau video digital dan bidang terkait lainnya. Akurasi pengenalan merupakan faktor penting dalam sistem pengenalan wajah. Faktor lingkungan, kualitas gambar, pergeseran dan penskalaan gambar adalah faktor umum yang mempengaruhi akurasi pengenalan. Terkadang faktor-faktor ini membuat gambar tidak ideal untuk dikenali dengan akurasi yang menurun.
Akurasi pengenalan wajah didapat dari algoritma. Algoritma merupakan sekumpulan instruksi yang terstruktur dan terbatas yang diimplementasikan kedalam bentuk program komputer untuk menyelesaikan suatu masalah komputasi tertentu. Bahasa sederhannya adalah prosedur atau alur dari sebuah kejadian. Dalam pengujian terkini yang dilakukan oleh National Institute of Standards and Technology (NIST) pada Maret 2020, menunjukkan bahwa algoritma pengenalan wajah terbaik memiliki tingkat kesalahan hanya 0,08%. Sementara penelitian yang diterbitkan pada April 2020 oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS), sistem TPW memiliki presisi hampir mutlak dalam kondisi ideal dan mencapai tingkat akurasi pengenalan 99,97%. Namun, kondisi sempurna hampir tidak dapat dicapai dalam pengoperasiannya sehari-hari dan algoritma menghadapi berbagai faktor yang memengaruhi keakuratannya.
Algoritma pengenalan TPW secara umum yang digunakan saat ini diantaranya yaitu:
- Berbasis penampilan, dimana algoritma ini tidak fokus pada geometri wajah dan reflektansi.
- Berbasis fitur, algoritma menggunakan fitur wajah, seperti hidung, mata, dan mulut.
- Hibrida, algoritma kompleks berdasarkan campuran dari dua yang disebutkan di atas, yang dibuat untuk mengurangi tingkat kecocokan palsu.
Beberapa algoritma terkenal yang digunakan dalam klasifikasi wajah TPW adalah algoritma Eigenfaces dengan metode Principal Component Analysis (PCA). Algoritma ini dapat mereduksi dimensi gambar wajah sehingga menghasilkan variabel yang lebih sedikit sehingga lebih mudah untuk diobservasi dan ditangani. Selain itu juga terdapat algoritma Support Vector Machine (SVM) yang menggunakan algoritma klasifikasi untuk data linear dan non-linear, algoritma K-Nearest Neighbour (KNN) yaitu sebuah metode untuk melakukan klasifikasi terhadap objek berdasarkan data pemelajaran yang jaraknya paling dekat dengan objek tersebut dan algoritma Convolutional Neural Network (CNN) yaitu jaringan saraf tiruan, yang paling umum diterapkan untuk menganalisis citra visual. Algoritma-algoritma tersebut dapat membantu para pengembang untuk memilih algoritma pengenalan wajah terbaik sesuai implementasi dari bidang yang ditekuni.
Hampir semua perangkat lunak biometrik wajah modern dibangun di atas pembelajaran mesin dan algoritma pengenalan wajah dilatih pada kumpulan data yang besar. Kualitas dan sifat kumpulan data ini memiliki dampak yang signifikan terhadap akurasi. Semakin baik data awal, semakin baik algoritma dalam mengatasi tugas. Salah satu contoh di Indonesia untuk data awal atau data besar wajah adalah otentikasi wajah penduduk yang didapat dari tahap pemotretan pada aktivitas perekaman KTP-el. Data besar wajah inilah yang menjadi rujukan pengembangan algoritma TPW untuk kemudian dapat dimanfaatkan sesuai regulasi yang berlaku.
Algoritma TPW terdiri dari dua tahap yaitu identifikasi dan verifikasi dan secara umum urutan tindakan algoritmanya adalah sebagai berikut:
- Deteksi wajah, dimana algoritma menyoroti wajah orang dalam gambar.
- Deteksi fitur wajah, pada saat ini algoritma menghitung titik antropometri wajah.
- Normalisasi wajah, sistem TPW melakukan transformasi gambar tambahan (penghapusan kemiringan kepala, koreksi warna wajah) untuk mendapatkan gambar frontal yang jelas.
- Ekstraksi fitur dan komputasi deskriptor, dimana sebuah deskriptor dihitung — satu set karakteristik yang menggambarkan wajah dan terlepas dari faktor lain seperti usia, gaya rambut, ataupun makeup. Membandingkan deskriptor yang berbeda memungkinkan untuk menilai apakah dua gambar wajah yang diterima merujuk pada orang yang sama.
- Verifikasi, pada saat ini template digital yang dihasilkan dibandingkan dengan wajah-wajah yang dikenal dalam data dasar untuk menyelesaikan proses identifikasi.
Keakuratan pengembangan algoritma TPW dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
- Penuaan umur biologis, yang merupakan proses alami pada manusia. Perubahan tekstur kulit menggeser highlight wajah. Karenanya perubahan kritis yang terjadi seperti kerutan dan perubahan bentuk wajah sehingga menjadi tidak dikenal oleh algoritma TPW.
- Ekspresi wajah, perubahan kecil pada wajah akan menyebabkan geometri wajah berubah. Ketika seseorang tersenyum, tertawa, atau menangis, merupakan tantangan bagi peneliti dalam membuat algoritma TPW.
- Operasi plastik (oplas), yaitu intervensi bedah sebagai cara umum untuk memperbaiki penampilan seseorang secara subjektif dan hal ini dapat mengubah bagian mana pun dari wajah manusia. Sampai sekarang, tidak ada jaringan saraf yang mampu mengenali seseorang setelah operasi rekonstruktif yang parah dan algoritma TPW masih perlu dikembangkan lebih jauh lagi untuk menangani ini.
- Halangan. Sebagian wajah yang tertutupi oleh halangan seperti penggunaan masker medis, kacamata hitam, anting, syal, kumis, atau janggut dapat menghalangi kerja algoritma TPW. Namun para peneliti menyarankan berbagai metode untuk mengatasi masalah tersebut.
- Resolusi rendah, gambar beresolusi rendah sering kali berasal dari kamera pengintai. Individu yang tertangkap dalam foto seperti itu sering kali merupakan bagian penting dari penyelidikan tetapi sulit untuk diidentifikasi dibandingkan dengan database resolusi tinggi. Para ahli sedang meningkatkan akurasi algoritma yang ada saat menangani gambar berkualitas rendah.
- Kebisingan atau noise yaitu karakteristik umum dari gambar digital. Jenis noise yang paling umum dalam pemrosesan citra adalah noise Gaussian, Poisson, Speckle, dan Salt and Pepper.
- Penerangan, dimana cara jatuhnya cahaya dan bayangan pada wajah manusia selalu mempengaruhi penampilan. Dengan demikian, foto yang diambil dalam kondisi pencahayaan yang berbeda-beda dapat berpotensi membingungkan untuk algoritma TPW.
- Variasi pose, dimana TPW memberikan hasil paling akurat dengan tampilan wajah frontal. Pose yang berbeda merusak akurasi pengenalan wajah karena sebagian besar database saat ini tidak menyimpan fitur individual non-frontal.
Kesalahan Pada Algoritma TPW dan Kasus Yang Pernah Terjadi
Masih ingat dengan istilah to err is human? Jika manusia dapat berbuat salah, apalagi algoritma yang dibuatnya. Dalam pengembangan algoritma TPW akan memunculkan empat kemungkinan hasil:
- Benar-benar positif, dimana algoritma dengan akurat mengidentifikasi orang yang sama dalam dua gambar.
- Benar-benar negatif, dimana algoritma secara akurat membedakan dua orang yang berbeda dalam gambar.
- Positif palsu (kesalahan tipe I), dimana algoritma mengidentifikasi dua orang yang berbeda sebagai individu yang sama, padahal kenyataannya tidak ada kecocokan sama sekali.
- Negatif palsu (kesalahan tipe II), dimana algoritma mengidentifikasi orang yang sama sebagai dua individu yang berbeda.
Konsekuensi kesalahan ini berbeda tergantung pada situasinya. Misalnya, jika aparat penegak hukum menggunakan algoritma pengenalan wajah dalam upaya mereka untuk menemukan buronan, positif palsu dapat menyebabkan penangkapan yang salah terhadap orang yang tidak bersalah. Di lain pihak ketika otoritas kontrol perbatasan menggunakan pengenalan wajah untuk menentukan apakah seseorang cocok dengan paspor yang dia bawa, positif palsu akan menyebabkan penipu melintasi perbatasan dengan paspor curian.
Mengingat bahwa ada berbagai jenis kesalahan yang terkait dengan berbagai risiko, produsen perangkat lunak pengenalan wajah dapat memberikan opsi untuk menyesuaikan algoritma guna meminimalkan salah satu jenis kesalahan. Untuk itu, sistem mengembalikan tidak menggunakan nilai biner melainkan angka yang mencerminkan tingkat keyakinan dalam keputusan. Dalam hal ini, pengguna dapat secara mandiri menetapkan ambang batas dan memperbaiki potensi kesalahan.
Tentu kita, rakyat Indonesia masih ingat dengan kejadian 11 April 2022 pada saat terjadi aksi demonstrasi di DPR. Salah satu kejadian yang menyita perhatian publik Indonesia adalah terjadinya aksi pemukulan terhadap Ade Armando, salah seorang penggiat media sosial dan akademisi. Terlepas dari pro kontra di media sosial terhadap aksi pemukulan ini, yang jelas sampai saat artikel ini dibuat, Polda Metro Jaya telah berhasil mengidentifikasi beberapa pelaku pemukulan. Namun salah seorang pelaku yang sebelumnya diduga terlibat, yaitu Abdul Manaf, telah diralat oleh Polda Metro dan dipastikan tidak terlibat. Nama Abdul Manaf muncul berdasarkan hasil TPW dari video saat aksi pemukulan terjadi.
Kasus Abdul Manaf ini bukan kasus pertama kali ketika terjadinya kesalahan identifikasi yang menggunakan TPW. Algoritma pengenalan wajah juga menyebabkan kasus salah mengidentifkasi pelaku kejahatan yang rata-rata terjadi di Amerika Serikat. Pada Juni 2020, Robert Williams, seorang Afrika-Amerika, diperkarakan atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Dirinya ditangkap di halaman depan rumahnya pada 9 Januari 2020 karena dituduh mencuri jam tangan dari toko Shinola di Detroit, Michigan. Foto SIM-nya dicocokkan dengan video buram pelaku. Selama interogasi, seorang petugas menunjukkan foto seorang tersangka kepada Williams. Namun Williams mengaku bahwa dirinya tidak pernah melakukan pencurian jam tangan. Setelah mendengar pengakuannya itu, polisi kemudian melakukan pemeriksaan ulang dan hasilnya adalah pengenalan wajah yang salah dan Williams dibebaskan setelah ditahan selama 30 jam.
Kejadian kesalahan identifikasi wajah juga terjadi kepada Michael Oliver, seorang warga kulit hitam Detroit. Pada 2019, penangkapan Oliver dilakukan karena hasil pengenalan wajah menyatakan wajahnya mirip dengan pelaku pencurian ponsel seorang guru. Namun, setelah dilakukan investigasi lebih lanjut ternyata Oliver bukanlah pelakunya alias salah tangkap. Kesalahan TPW lainnya terjadi pada Nijeer Parks yang dituduh mencuri toko souvenir Hampton Inn di Woodbridge, New Jersey, pada Januari 2019. Menurut laporan polisi, pencuri meninggalkan SIM di tempat kejadian dan hampir menabrak seorang petugas saat berusaha kabur. Foto dari kartu identitas tersebut lalu dikirim ke kantor pusat untuk dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem pengenalan wajah. Hasilnya, Parks memiliki tingkat kecocokan tinggi dengan terduga pelaku. Pria berkulit hitam itu lantas ditangkap dan ditahan selama 10 hari. Setelah hampir satu tahun melewati proses hukum, Parks dinyatakan tidak bersalah lantaran SIM atau identitas yang tertinggal di lokasi kejadian diketahui palsu.
Penggunaan TPW di Negara-Negara
Para ahli telah memperkirakan pada tahun 2025 pasar pengenalan wajah global dapat mencapai 8,5 miliar USD. Tahun 2021 telah dilakukan analisis terhadap 100 negara dalam penggunaan TPW dengan menggunakan penghitungan tertentu dimana setiap negara diberi skor perbandingan dengan angka 40. Skor yang lebih tinggi menunjukkan penggunaan TPW yang tidak atau kurang invasif dan skor yang lebih rendah menunjukkan penggunaan yang lebih luas dan invasif. 10 negara teratas dengan penggunaan TPW yang paling luas dan invasif adalah sebagai berikut : (1) Tiongkok (skor 5 dari 40) , (2) Rusia (skor 9 dari 40), (3) Uni Emirat Arab (skor 10 dari 40), (4) Jepang, India, Chili (skor 12 dari 40), (5) Australia, Brazil (skor 13 dari 40), (6) Argentina (skor 16 dari 40), (7) Perancis, Hongaria, Malaysia, dan Inggris (skor 17 dari 40), (8) Meksiko dan Amerika Serikat (skor 18 dari 40), (9) Rumania, Spanyol, dan Taiwan (skor 19 dari 40), dan (10) Kazakhstan, Swedia, Thailand, dan Afrika Selatan (skor 20 dari 40).
Hasil analisis memperlihatkan bahwa hampir 70 persen pihak kepolisian memiliki akses ke beberapa bentuk TPW, lebih dari 60 persen negara memiliki TPW di beberapa bandara, hampir 20 persen negara memiliki TPW di beberapa sekolah, hampir 80 persen negara menggunakan TPW di beberapa bank mereka, sekitar 40 persen negara telah menerapkan TPW di beberapa tempat kerja, 20 persen negara memiliki TPW di beberapa bus, lebih dari 30 persen negara telah memasang TPW di beberapa kereta, dan lebih dari 40 persen negara menggunakan TPW dalam menangani COVID-19.
Hasil analisis juga mengungkapkan pengembangan TPW di negara-negara teratas pengguna TPW. Diantaranya seperti Tiongkok digunakan oleh pemerintah dan polisi secara ekstensif dan terkadang menggunakan taktik pengawasan invasif. Anak-anak juga tidak luput dari teknologi yang mengancam privasi karena sekolah sering menggunakan teknologi tersebut untuk melihat seberapa perhatian siswa. Di Rusia, pihak berwenang Moskow terus menggunakan TPW untuk mengidentifikasi dan menuntut para peserta protes damai. Di Abu Dhabi, UEA, meningkatnya mobil patroli untuk memasukkan TPW dalam upaya membantu mereka mengidentifikasi "orang-orang yang mencurigakan dan dicari.". Di Chili, mayoritas warga akan memiliki kartu identitas elektronik yang menggunakan pengenalan wajah pada tahun 2022 ini.
Di India, ada belasan sistem TPW berbeda yang digunakan di pemerintah Pusat dan Negara Bagian. Di Perancis, Inggris, dan Hongaria tidak memiliki TPW yang diketahui di sekolah, sementara Malaysia tampaknya tidak memasang TPW di bus. Di Amerika Serikat, terdapat peningkatan penggunaan TPW, tetapi bus tampaknya belum memasang TPW. Untuk sistem transportasi umum di Rumania, sekolah di Spanyol, dan bus di Taiwan tampaknya tidak memiliki TPW, walaupun telah meningkatkan penggunaan TPW di sebagian besar wilayah. Dan di Swedia penggunaan TPW telah dilarang di sekolah.
Selain dari hasil analisis di atas, ketegangan Rusia-Ukraina yang saat ini sedang terjadi, menjelaskan penggunaan TPW untuk hal lain yaitu strategi militer. Terlepas alasan penyebab terjadinya ketegangan kedua negara, sejak invasi Moskow dimulai pada Kamis 24 Februari 2022, pihak Ukraina menggunakan strategi pemindaian wajah dan mengidentifikasi lebih dari 8.600 tentara Rusia yang tewas atau ditangkap untuk kemudian menghubungi ratusan keluarga mereka. Pejabat Ukraina mengatakan penggunaan perangkat lunak pengenalan wajah dapat membantu mengakhiri perang brutal, walaupun beberapa ahli menyebutnya sebagai 'perang psikologis klasik' yang menjadi preseden mengerikan.
Risiko Dalam Pengembangan TPW
Sejak awal tahun 1980-an, risiko telah menjadi kata penting tidak hanya dalam pemerintahan dan bisnis tetapi juga dalam diskusi publik dan penelitian akademik. Munculnya sistem dan pengembangan teknologi selalu mempunyai risiko dan paling tidak - kita harus mengetahui risiko yang mungkin datang dalam penggunaannya. Kehidupan kontemporer membawa penekanan baru pada cara kita berbicara dan berpikir tentang risiko.
TPW masih merupakan teknologi berkembang. Bahwa TPW memaksa manusia untuk mempertimbangkan kembali semua yang diketahuinya tentang kerahasiaan dan hak inidividu atas privasinya. Database wajah yang dimanfaatkan untuk pengembangan TPW berisiko diretas, dapat digunakan secara eksploitatif jika tidak tepat pengelolaannya, dan dapat juga digunakan sebagai taktik pengawasan secara invasif.
Beberapa risiko global yang terkait dalam pengembangan TPW ini adalah:
- Kurangnya dasar hukum. Salah satu masalah terbesar dalam penggunaan TPW adalah kurangnya dasar hukum yang dapat mengakomodir dan tepat dalam mengantisipasi penggunaan tindakan invasif dari teknologi.
- Pengawasan siber dianggap sesuatu hal normal. Pengawasan tatap muka antarpribadi adalah atribut yang melekat pada sejarah manusia. Namun, ada lebih banyak pengawasan TPW yang terjadi hari ini, dan pengawasan melalui siber yang sekarang digunakan memiliki kemampuan yang belum pernah ada sebelumnya untuk melihat lebih banyak, menembus lebih dalam, dan menjalin lebih banyak koneksi. Pengurangan privasi dianggap sebagai bagian yang wajar dan memberikan informasi pribadi dianggap sesuatu hal yang lumrah untuk berpartisipasi dalam dunia digital.
- Kesalahan identifikasi, sistem pengenalan wajah tidak selalu mampu mencocokkan wajah dengan database secara akurat.
- Kerahasiaan, informasi pribadi bisa saja dikumpulkan secara tidak fair oleh aplikasi pengenalan wajah yang berkembang pesat.
- Penyalahgunaan data, data digunakan secara tidak etis atau eksploitatif oleh pemegang otoritas.
- Diskriminatif, ini kaitan dengan pengembang algoritma pengenalan wajah, dimana harus memperhatikan dan memperlakukan setiap kemungkinan warna kulit dan asal etnis, termasuk kelompok populasi yang relatif kecil. Kasus hukum yang terjadi di Amerika Serikat karena kesalahan TPW cenderung terjadi pada ras kulit hitam.
- Kurangnya mekanisme transparansi, pengembangan mekanisme transparansi sangat penting untuk mencegah gangguan privasi yang tidak dapat dibenarkan serta sanksi terhadap penyalahgunaan data pribadi.
Untuk mengurangi risiko-risiko tersebut dan mengingat sulitnya menyelaraskan penggunaan TPW dengan perlindungan data, inisiatif yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
- Standarisasi. Meskipun tidak ada standar privasi khusus untuk TPW, diharapkan model seperti penggunaan ISO 27001 dapat membatasi penyalahgunaan yang akhirnya dilakukan oleh pengontrol dan pemroses data. Namun, penerapan standar saja tidak menyelesaikan semua masalah. Justru akan menimbulkan masalah yang kompleks ketika menyangkut kepentingan politik.
- Membangun model eksperimental yang dapat diadopsi seperti regulatory sandbox. Otoritas menciptakan lingkungan normatif yang terkendali di mana inovator dapat menguji produk, layanan, atau bisnis yang inovatif tanpa harus mengikuti semua norma hukum yang menutupi aktivitas mereka. Dalam lingkungan itu, regulator bekerja bersama pengembang untuk menilai risiko dan manfaat dari sebuah pengembangan TPW.
- Adanya Regulasi Perlindungan Keamanan Data Pribadi yang dapat membahas detil pemrosesan data pribadi serta pergerakan bebas dari data tersebut.
Bagaimanapun TPW hanyalah sebuah teknologi. Secara umum, umat manusia harus mempertahankan kendalinya, dan teknologi yang dikembangkan harus bekerja untuk kebaikan manusia dan alam, tidak boleh mengeksploitasi, dan dapat ditinjau secara berkala keberadaannya. Dan semua itu pastilah melewati sebuah jalan panjang. (yip)
Yopie, just an ordinary man.
Di belakang meja. 24 - 26 Ramadhan kareem 1443 H - Jangan kauberikan hikmah kepada orang yang tak layak menerima, kau akan membuat hikmah itu salah makna. Dan jangan kau tahan hikmah dari orang-orang yang berhak menerima, kau akan membuat mereka salah arah. Rumi -
Beberapa Rujukan:
Bischoff, Paul, Facial recognition technology (FRT): 100 countries analyzed, https://www.comparitech.com/blog/vpn-privacy/facial-recognition-statistics/
CNN Indonesia, Salah Tangkap Polisi Gara-Gara Face Recognition di Kasus Ade Armando,https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220415075731-12-785112/salah-tangkap-polisi-gara-gara-face-recognition-di-kasus-ade-armando
Facefirst, https://www.facefirst.com/blog/amazing-uses-for-face-recognition-facial-recognition-use-cases/
Human Rights Watch, Russia : Broad Facial Recognition Use Undermines Rights,https://www.hrw.org/news/2021/09/15/russia-broad-facial-recognition-use-undermines-rights
Maxwell, Winston, Clémençon, Stephan, The Coversation.com, Why facial recognition algorithms can’t be perfectly fair,
Moraes,Thiago Guimarães, Eduarda Costa Almeida, José Renato Laranjeira de Pereira, Smile, you are being identified! Risks and measures for the use of facial recognition in (semi‑)public spaces, Springer Nature Switzerland AG 2020
Nasional Tempo, Deretan Kasus Salah Tangkap Akibat Face Recognition Tidak Akurat, https://nasional.tempo.co/read/1582562/deretan-kasus-salah-tangkap-akibat-face-recognition-tidak-akurat/full&view=ok
Paul, Sanmoy and Acharya, Sameer Kumar, A Comparative Study on Facial Recognition Algorithms (December 21, 2020). e-journal - First Pan IIT International Management Conference – 2018
Recfaces.com, How Accurate is Facial Recognition Today?, https://recfaces.com/articles/how-accurate-is-facial-recognition#25
Washington Post, Ukraine is scanning faces of dead Russians, then contacting the mothers, https://www.washingtonpost.com/technology/2022/04/15/ukraine-facial-recognition-warfare/