Disrupsi yang terjadi saat ini menyebabkan kerja sebuah organisasi membutuhkan penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian tersebut dapat mewujud dalam berbagai perubahan seperti restrukturisasi organisasi, merekayasa ulang, menyusun kembali rencana strategi, melakukan pembaruan kultur, melakukan akuisisi atau perampingan, bahkan bisa juga dengan melakukan peningkatan kualitas di bagian-bagian tertentu. Sifat perubahan ini bisa dilakukan secara terencana, radikal, reaksioner, atau juga tak terencana. Intinya perubahan dalam organisasi dilakukan untuk mengarah ke sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Apalagi dengan ditambah dengan laju perkembangan kemajuan teknologi informasi, yang mengharuskan sebuah organisasi melakukan transformasi.
Perubahan-perubahan tersebut menuntut adanya perbaikan di segala lini yang dibungkus dengan kata “target”, Hal inilah yang menuntut, sumber dayamanusia yang terlibat di organisasi tersebut berusaha sedemikian rupa menyesuaikan diri agar mencapai target yang dimaksud. Namun kerap kali ketika proses pencapaian target itu berjalan, tidak jarang sebuah organisasi mengalami disfungsi. Budaya disfungsi organisasi bisa muncul dalam beragam bentuk, seperti praktik ketidakjujuran, adanya koalisi yang tidak sehat, pelanggaran kode etik, perundungan dalam berbagai tingkatannya dari halus sampai kasar, gejala mentalitas silo, carmuk alias cari muka, bahkan sikut-sikutan. Disfungsi organisasi inilah yang meracuni jalannya organisasi dan menjadi budaya toksik.
Istilah toksik ini sudah ada sejak lama. Kata toksik mempunyai konotasi yang kuat dan keras. Awalnya istilah toksik atau racun sangat familiar di kalangan dunia kesehatan yang berarti zat beracun yang bisa berbahaya bagi tubuh dan kesehatan. Namun kemudian mengalami perkembangan pemaknaan dan tak hanya zat beracun yang bersifat fisik. Bahwa apapun yang sifatnya berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang dapat disebut dengan toksik. Toksik di dalam hubungan rumah tangga, toksik di pergaulan baik di lingkungan sekolah, kampus, dan pekerjaan, toksik dalam berorganisasi, toksik dalam perusahaan, informasi toksik yang berasal dari ragam bentuk informasi yang tidak terfilter di otak manusia yang berasal dari media sosial dan media komunikasi, bahkan toksik ini bisa merambah ke bentuk perilaku sosial ataupun perilaku keagamaan.
Kembali ke dalam dunia kerja, istilah toksik erat kaitannya dengan budaya organisasi. Pertanyaannya apa yang menyebabkan budaya toksik di dunia kerja bisa muncul? Dikutip dari beberapa sumber, bahwa budaya toksik di dunia kerja dapat muncul ketika terjadi situasi dan kondisi seperti berikut:
- Kinerja yang dipacu sedemikian tingginya, atau tidak kenal waktu, bahkan hak cuti pekerja dihambat, karena kekhawatiran performa akan jelek. Hal ini tanpa sadar akan membangun budaya toksik yang memeras fisik, pemikiran maupun mental pekerja.
- Kebiasaan untuk mencari-cari kesalahan, menyalahkan, dan alergi terhadap kesalahan, namun tidak fokus kepada langkah-langkah menyelesaikan masalah agar sebuah kesalahan tidak terulang kembali. Bahkan organisasi tidak memunculkan psikologi rasa aman dan nyaman bagi orang yang bekerja di dalamnya.
- Adanya budaya ancaman yang ekstrim dan kasar. Organisasi membutukan kedisiplinan dalam pengembangannya. Namun jika sebuah konflik berkembang dan suasana berubah menjadi kasar, indikator toksik mulai terjadi di organisasi tersebut.
- Politik feodal karena pemilihan atau perlakuan istimewa terhadap orang atau golongan tertentu. Ketika orang mulai peduli dengan jabatan, deskripsi, dan level pekerjaan tertentu dalam hirarki organisasi, perlakuan “istimewa” terhadap seseorang, akan berdampak signifikan pada berkurangnya “rasa memiliki organisasi” yang dimiliki sebelumnya oleh para pekerja yang lain.
- Perundungan dan gosip yang ditoleransi. Perundungan dan gosip-gosip yang beredar di tempat kerja dapat menimbulkan kelelahan psikologis, stres, depresi, dan kecemasan. Bahayanya lagi jika perilaku yang tidak pantas dan perlakuan buruk terhadap orang lain adalah dianggap sebagai status quo yang biasa.
- Moral yang rendah. Semangat kerja yang tinggi akan menghasilkan produktifitas dan mendorong hasil yang lebih signifikan. Semangat yang tinggi juga dapat menarik talenta terbaik dan memunculkan kreativitas yang solutif. Sayangnya jika terdapat moral yang rendah dari segelintir orang atau bekerja dengan orang-orang yang memiliki sikap buruk, hal ini akan mempengaruhi motivasi untuk membantu organisasi ke arah keberhasilan.
- Kurangnya sisi respek dan kepercayaan yang ditumbuhkan secara kolektif. Respek dan kepercayaan adalah pondasi inti dari sebuah organisasi yang sukses. Jika dua kunci ini dilakukan, akan lebih mudah menyampaikan komunikasi dan bisa saling mengingatkan antara satu person ke person yang lain. Penting untuk diingat bahwa kecenderungan memegang kendali organisasi dengan erat pada akhirnya justru dapat menyebabkan kehilangan kendali itu sendiri.
- Adanya mentalitas silo. Mentalitas ini muncul ketika departemen atau sektor tertentu tidak ingin berbagi informasi dengan orang lain atau tim lain di organisasi yang sama. Mentalitas ini lahir dan terbentuk dari tim kepemimpinan yang berkonflik.
- Mentalitas korban. Jika mentalitas silo diakibatkan oleh keengganan untuk berbagi, maka mentalitas korban ini, ketika seseorang selalu merasa dirinya sebagai korban dari segala kondisi dan situasi yang terjadi di organisasi. Sejatinya, sikap seperti ini cukup berbahaya dan menghambat pekerjaan. Imbasnya, selain dapat menyebabkan atmosfer kerja yang negatif, juga menunjukkan sifat yang tidak bertanggung jawab.
- Regulasi yang tidak berfungsi, artinya kebijakan diambil bukan berdasarkan regulasi yang ada, tetapi berorientasi pada kepentingan individu atau kepentingan kelompok.
- Adanya kultur otoriter bahwa pimpinan selalu benar. Kultur gaya kepemimpinan ini menganggap bahwa semua orang adalah musuh, apakah itu bawahannya atau rekan kerjanya. Agar tidak menjadi ancaman, maka dibuat kondisi kedisiplinan yang tidak masuk akal atau dengan target yang tak mungkin dicapai. Namun gaya kepemimpinan otoriter ini bisa efektif bila ada keseimbangan antara disiplin yang diberlakukan dengan adanya kompromi terhadap bawahan.
Pekerjaan sekarang yang membutuhkan seseorang dapat bekerja multitasking, bahkan harus selalu siap dengan arahan yang dikirim melalui pesan gawai dan dapat terjadi selama 24 jam penuh. Tubuh manusia sendiri itu diciptakan membutuhkan rehat dan istirahat. Akibatnya pola-pola pekerjaan modern yang dilakukan sekarang berpengaruh pada kesehatan fisik dan kesehatan psikis. Pada zaman ketika dunia semakin kritis dan disruptif, budaya toksik pasti akan dikaji dan dinilai di tempat kerja. Jika budaya toksik ini berkembang dan pastinya bertentangan dengan nilai-nilai positif kehidupan yang dianut secara umum, maka dipastikan organisasi tersebut akan limbung, walau roda organisasi terus dapat berjalan.
Banyak yang mengatakan bahwa pimpinan tertinggi yang menjadi penyebab sepenuhnya terhadap adanya toksik di dalam organisasi. Anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. Toksik dapat muncul di berbagai level tingkatan. Entah itu low management, middle management, dan top management. Oleh karenanya, kultur kepemimpinan otoritatif (berbeda dengan otoriter) yang mampu mengarahkan dan membangun motivasi individu serta kebersamaan di setiap level dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sangat diperlukan sebuah organisasi dalam menghilangkan kelanggengan budaya toksik.
Cara organisasi untuk memperkuat setiap level atau tingkatannya dari budaya toksik ini salah satunya adalah membangun komunikasi yang baik. Sebelum membangun komunikasi yang kuat dalam organisasi, memahami bahwa setiap kita memiliki karakter yang berbeda adalah sesuatu yang mutlak adanya. Dan itu butuh proses dan waktu. Perlu diperhatikan pula, perubahan dalam organisasi sangat membutuhkan komunikasi yang hati-hati, cermat, dan sambil merabarasakan respon dari setiap tingkatan manajemen dengan sikap terbuka. Diskusi dan internalisasi sebuah perubahan adalah proses yang harus dilewati. Respon alami seseorang ketika mengalami perubahan dalam hidupnya, yakni penyangkalan, rasa amarah, tawar menawar, depresi, dan penerimaan pasti akan dihadapi.
Masyarakat modern berusaha membangun keseluruhan eksistensi manusia hanya berdasarkan absurditas fisik. Hal ini sudah menjadi mazhab mainstream yang harus diikuti. Setelah seseorang individu bisa melihat bahwa apa yang disebut sebuah organisasi adalah sebagai bagian dari dirinya sebagai manusia yang utuh, pendekatan pasti akan lebih inklusif dan berkelanjutan.
Jika kita mampu mengembangkan pikiran yang positif, membangun pertemanan positif, membuat batasan yang jelas dan berbuat profesional, menjauhi gosip dan konflik yang tidak penting, berani berpendapat dan menghargai perbedaan, dan tidak membiarkan diri menjadi depresi terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan pemikiran kita, maka budaya toksik ini bisa dikendalikan sejak dari person. Bahkan bagi pekerja swasta, dapat juga merencanakan strategi resign untuk keluar dari kondisi toksik organisasi yang sudah melampaui batas. Apabila kita mampu melampaui hal-hal tersebut dalam diri kita, maka seseorang bisa lebih bertumbuh dalam hidupnya.
Pada akhirnya, toksik itu disadari sebagai bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Semua ini berakar dari perkembangan pemikiran dan kejiwaan pada manusia yang menjadi budaya. Hal ini timbul karena proses pemaknaan yang tidak tepat dan belum menyeluruh terhadap suatu hal, pengaruh tekanan dari luar pada lingkaran seseorang yang didominasi oleh ego dan mengedepankan kekuasaan, perlakuan-perlakuan yang tidak sehat dan cenderung diabaikan dan dibiarkan di tataran individu dan keluarga, dan bahkan toksik ini bisa timbul dari praktik keagamaan yang tumbuh subur tetapi kering makna spiritual.
Tulisan ini mungkin hanya seperti sepercik air atau sebutir debu dalam menghadapi keadaan atau budaya toksik yang muncul di dalam organisasi dimana kita bekerja. Namun, seperti kata salah seorang Guru Bijak, “Anda tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun. Sungguh luar biasa untuk dapat Hidup, merasakan hidup dan bertumbuh menjadi diri sendiri,”. Kesehatan fisik, mental spiritual dan kebahagiaan secara keseluruhan adalah yang utama. Diri dan keluarga kita jauh lebih berharga dari sekadar pekerjaan.
Selain itu, setiap tindakan yang kita lakukan pada esensinya adalah suatu kontribusi untuk sebagian aspek dari kehidupan. Menyadari hal itu seharusnya membuat kita tetap terinspirasi. Belajar untuk menurunkan toksik bernama kebanggaan, ego dan signifikansi diri, tidak menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain dan selalu ingat betapa pentingnya kaki ini tetap menginjak bumi, bahkan ketika keberuntungan hidup membawa semua yang dicita-citakan menjadi kenyataan. Semoga dengan hal tersebut pintu RahmatNya selalu terbuka buat kita. Aamiin. (yip)
Yopie. Dari belakang meja, 8-10 Agustus 2022
Beberapa Rujukan :
Rachman, Eileen, Jakob, Emilia, Budaya Toksik, Karier Experd, Harian Kompas, Sabtu 6 Agustus 2022
HR Note Asia, 5 Jenis Perubahan Organisasi dan Contohnya, https://id.hrnote.asia/orgdevelopment/5-jenis-perubahan-organisasi-dan-contohnya-220511/
Oliver, Andre, 4 Ciri Victim Mentality di Tempat Kerja, Apakah Kamu Mengalaminya?, https://glints.com/id/lowongan/victim-mentality-adalah/#.YvMyZ3ZByM9
Putra, Gaya Kepemimpinan Menurut Para Ahli dan Jenis-Jenisnya, https://artikelpendidikan.id/gaya-kepemimpinan/
The Team, Employment Hero , 7 Signs of a Toxic Workplace Culture, https://employmenthero.com/blog/7-signs-of-a-toxic-workplace-culture/
Tim CNN Indonesia , 5 Cara Menghadapi Lingkungan Kerja yang Toksik, tim CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210630104924-277-661192/5-cara-menghadapi-lingkungan-kerja-yang-toksik