WASPADAI TBC DM, ditulis oleh Elly Trisnawati

  • BY YOPIE
  • ON 21 NOVEMBER 2019
  • 6443 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_6415359096_00.jpg

Tuberkulosis (TBC) bukan lagi merupakan penyakit yang asing di telinga kita. TBC sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TBC telah dilaksanakan di berbagai negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi triple burden TBC untuk insiden TBC, insiden TBC MDR, dan TBC HIV. Berdasarkan Global TBC Report 2017, Indonesia menduduki peringkat ke-2 untuk insiden TBC, di bawah Negara India dan China.

Kalimantan Barat juga merupakan salah satu Provinsi yang turut konsens dalam pencapaian Indonesia bebas TBC di tahun 2030. Telah banyak program dijalankan baik di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten Kota, termasuk perluasan kerjasama dengan berbagai sektor. Salah satu Kota yang turut andil menyumbangkan data kasus TBC adalah Kota Pontianak. Data kasus baru TBC dan data ulangan tahun 2018 menunjukkan jumlah sebesar 1340 kasus dan pada tahun 2019 sebesar 750 kasus (Dinkes Provinsi, 2018 ; 2019). Data tersebutsejalandengan data capaianoleh SSR (Sub Sub Recipient) TBC Care ‘ Aisyiyah Kota Pontianak, yaitu sebesar 264 kasus pada tahun 2018 dan sebesar 196 kasus terhitung sampai bulan September 2019 (Laporan SR TBC Care ‘ AisyiyahKalbar, 2019).

Angka ini menunjukkan penurunan data, tetapi bukan berarti kasus TBC telah benar-benar menurun di Kota Pontianak. Ada banyak hal yang mempengaruhi temuan positif kasus TBC menjadi rendah, antara lain : kualitas dahak yang dikeluarkan oleh terduga, di mana dahak yang dikeluarkan bukan dahak yang berkualitas sehingga ketika diperiksa hasilnya negatif. Penyebab lain adalah masih adanya stigma tentang TBC. Hal inilah yang harus terus disosialisasikan kepada masyarakat, bahwa TBC bukan penyakit “keturunan”, “kutukan” atau “gunaguna”, bukan juga merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

TBC adalah penyakit menular langsung, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC dapat menyerang siapa saja, merupakan penyakit yang bisa disembuhkan dan sebagian besar menyerang paru-paru (dapat menyerang tulang, kelenjar, kulit). Adapun yang menjadi gejala dari TBC ini adalah batuk selama 2 minggu sebagai gejala utama, dan didukung oleh beberapa gejala tambahan berupa : batuk berdarah, nyeri dada, demam meriang (demam yang tidak terlalu tinggi), berkeringat di malam hari tanpa sebab, nafsu makan menurun, dan berat badan menurun secara signifikan. Apabila menemukan anggota keluarga, tetangga serta teman sekerja yang memiliki gejala-gejala tersebut, alangkah baiknya segera menghubungi fasilitas kesehatan (puskesmas) atau melalui kader-kader TBC Care yang telah tersebar di semua kecamatan yang ada di Kota Pontianak.

Tingginya kasus TBC ini menjadi perhatian utama pemerintah karen amengingat dampak yang ditimbulkan akibat TBC tidaklah bisa dipandang sepele. Perlu diketahui bahwa beban dan dampak kerugian TBC adalah sebagai berikut : kehilangan pendapatan sebesar 38% bagi penderita insiden TBC dan 70% bagi penderit aTBC MDR/ TBC RO, kehilangan pekerjaan sebesar 26% pada penderita insiden TBC dan sebesar 53% pada penderita TBC MDR/ TBC RO serta kerugian ekonomi yang mencapai 130,5 Milyar. Tentunya ini merupakan dampak yang besarakibat TBC menyerang masyarakat, khususnya pada usia produktif. Kelompok yang rentan menderita TBC, antara lain : penderita HIV/AIDS, lanjut usia, anak-anak, kelompok dengan status gizi buruk serta penderita DM (Diabetes Mellitus).

Triple burden yang diterima oleh Negara kita belum sepenuhnya dapat diatasi, kita harus kembali waspada akan munculnya salah satu risiko lain, yaitu TBC – DM. Seperti yang telah diketahui bahwa DM atau Diabetes Mellitus merupakan penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan akan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Penyakit kronik seperti DM memilik irisiko lebih tinggi terhadap berkembangnya TBC laten menjadi TBC aktif. Sistem kekebalan tubuh bawaan terganggu oleh tingginya tingkat glukosa darah. Penderita DM memiliki kemungkinan 3 kali lebih tinggi untuk menderita TBC dibandingkan orang tanpa DM (Kemenkes RI,2015).

DM adalah faktor risiko TBC dan 15% dari beban TBC global sekarang disebabkan oleh DM (McMurry, H.S et al., 2018). Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa pada tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia dengan jumlah diabetes sebanyak 10,3 juta jiwa. WHO bahkan memperkirakan angka kejadian diabetes di Indonesia akan melonjak drastis menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 (IDF, 2017). Demikian juga di Kalimantan Barat, permasalahan DM masih cukup memprihatinkan, menempati peringkat dua puluh secara nasional dan merupakan penyakit kronik tertinggi dibandingkan dengan penyakit lainnya.

Peningkatan jumlah penderita DM berkolerasi positif dengan peningkatan jumlah TBC karena lebih dari 10% penderita TBC merupakan penderita DM. Kasus DM, saat ini semakin menjangkau semua kelompok umur, bukan hanya pada kelompok lansia, tetapi telah menjangkau usia-usia produktif. Perkembangan kasus DM sebagai salah satu penyakit tidak menular yang belum dapat dikendalikan ini terimbangi dengan semakin meningkatnya data kasus penyakit menular yang merupakan salah satu komplikasi tersering pada pasien DM, yaitu Tuberkulosis (TBC).

TBC yang kita kenali sebagai penyakit yang disebabkan oleh kuman MTBC (Mycrobacterium Tuberculosis) banyak mengenai kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, yang tinggal di lingkungan padat, kumuh, miskin dan terbelakang. Tetapi pada perkembangannya saat ini, TBC tidak hanya mengenai kelompok masyarakat dengan karakteristik tersebut di atas semata, penyakit ini telah mengenai berbagai macam kalangan, bahkan kelompok masyarakat menengah ke atas juga berisiko terkena penyakit ini. Korelasi munculnya TBC pada penderita DM semakin kuat karena lebih dari 10% penderita TBC merupakan penderita DM. Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik pada pasien dapat menjadi pre disposisi tuberkulosis. Peningkatan prevalensi DM tersebut diikuti dengan peningkatan prevalensi TBC.

Faktor risiko munculnya TBC-DM dianalisis melalui penelitian yang dilakukan di Pontianak pada tahun 2019 (Satriana, Trisnawati, Marlenywati, 2019). Penelitian dilakukan pada 64 responden yang terdiri dari 32 kelompok kasus (penderita DM yang positif TBC) dan 32 kelompok kontrol (penderita DM yang negatif TBC). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan merokok, kontak dengan penderita TBC, lama menderita DM dan kadar glukosa darah merupakan faktor risiko TBC-DM.

Penderita DM yang merokok, 7 kali lebih berisiko menderita TBC. Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap setiap harinya, maka semakin banyak kandungan rokok yang masuk ke dalam tubuh sehingga merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance.Hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan silia. Dengan demikian terjadi penimbunan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri termasuk kuman TBC sehingga dapat menimbulkan infeksi. Penderita DM yang kontak dengan penderita TBC,12 kali lebih berisiko menderita TBC. Keberadaan penderita TBC di dalam rumah dan di sekitar aktivitas penderita DM akan mempercepat terjadinya TBC pada penderita DM.

Penularan TBC dapat terjadi bila ada kontak dengan penderita TBC yang umumnya terjadi dalam ruangan yang mengandung droplet (tergantung kosentrasi droplet dalam udara), lama menghirup dan kerentanan individu. Penderita DM yang menderita DM > 5 tahun berisiko 9 kali lebih besar mengalami TBC. Lamanya menderita DM tipe 2 dihubungkan dengan faktor risiko terjadinya komplikasi, baik akut maupun kronis. Kejadian komplikasi dikaitkan dengan lama menderita, kepatuhan dalam menjalani program pengobatan dan tingkat keparahan diabetes.

Apabila lama durasi diabetes yang diderita diimbangi dengan pola hidup sehat akan menciptakan kualitas hidup yang baik, sehingga dapat mencegah komplikasi jangka panjang. Penderita DM yang memiliki kadar glukosa darah tidak terkontrol (≥ 200 mg/dl) berisiko mengalami TBC lebih besar dibandingkan yang memiliki kadar kurang darah terkontrol. Gula darah yang tinggi menurunkan kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Kadar gula yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan pasien terhadap adanya infeksi.Penderita DM yang kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TBC menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi.

Sebagai upaya prevensi pada penderita DM agar tidak mudah menderita TBC antara lain :

  1. Menjaga pola makan sehat dan seimbang,
  2. Mengurangi sumber-sumber gula;
  3. Meningkatkan aktivitas fisik;
  4. Menghindarkan diri dari aktivitas merokok;
  5. Rutin melakukan kontrol gula darah ;
  6. Tinggal di lingkungan yang sehat, cukup ventilasi;
  7. Tetap aware terhadap gejala-gejala TBC; dll.

Dan apabila gejala TBC sudah mulai muncul sebaiknya harus disegerakan untuk melakukan early diagnosis dengan cara mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat atau menghubungi kader TBC Care. Apabila telah dinyatakan positif TBC, maka jangan berkecil hati, lanjutkan pengobatan sesuai dengan diagnosis yang telah ditegakkan dan jangan sampai putus berobat. Diabetes Mellitus dapat dikendalikan, TBC dapat disembuhkan !!!

Jangan lupa…. TOSS TBC (Temukan Obati Sampai Sembuh)

 

Salam Sehat.

Penulis

Elly Trisnawati. Perempuan yang lahir di Madiun, 08 November 1980. Sekarang aktif sebagai Dosen Fikes UM Pontianak, konsentrasi Ilmu Kesehatan Masyarakat (Epidemiologi – Kesehatan Kerja). Selain aktif sebagai dosen, Elly juga merupakan Kepala SR TBC Care ‘Aisyiyah Kalbar dan Kepala Bidang Khusus TBC-HIV PengDa IAKMI Kalbar.

Tags Terkait

Disdukcapil Kota Pontianak