Teknologi dan Kemanusiaan, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 27 DESEMBER 2018
  • 11542 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_2884241317_technology_and_humanity.jpg

Dalam peradaban dunia saat ini, dimana peradaban fisik dan peradaban maya saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan terkadang absurd, sedang membentuk equilibriumnya (baca tulisan terdahulu Momentum Digital). Jika yang pertama, peradaban fisik  yang berwujud fisik sudah berlangsung ribuan tahun dan kedua, peradaban maya, sedang terbentuk dipacu dan dipicu oleh teknologi. Keduanya menuju ke arah satu titik pertemuan atau konvergensi. Tak hanya konvergensi alat, konten, bahkan lebih ke arah cara pandang. Menurut Henry Jenkins (2006), konvergensi budaya yang dipicu perkembangan teknologi informasi, merubah tatanan hidup masyarakat menjadi lebih praktis, efisien dalam pemanfaatan atau melengkapi kehidupan kesehariannya.

Konvergensi budaya ini semakin tampak jelas ketika dihubungkan dengan teorinya Klaus Schwab (2017) yang diungkap dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution atau Revolusi Industri 4.0. Walapun masih diperdebatkan tapi Klaus Schwab menyakini bahwa sekarang kita sudah memasuki era industri 4.0 yang lebih dikenal dengan industri cyber physical system.  Industri ini ditandai oleh perpaduan teknologi yang mengaburkan garis dan batas fisikal, digital, dan biologi. Beberapa diantaranya adalah teknologi robotika, penggunaan kecerdasan buatan, nanoteknologi, komputasi kuantum, bioteknologi, kendaraan tanpa awak, 3-D Printing, Internet of Things (IoT) atau bahasa awamnya internet untuk segala. (Sebagian besar) kehidupan manusia akan cenderung semakin dimanja dengan atribut bernama kemudahan dan kepraktisan.

Untuk Indonesia sendiri, Presiden  Joko  Widodo telah meluncurkan Making Indonesia 4.0  pada  April 2018 lalu sebagai bagian dari rangkaian acara Indonesia Industrial Summit 2018. Making Indonesia 4.0  adalah sebuah  roadmap  atau  peta  jalan  mengenai  strategi Indonesia  dalam  implementasi  memasuki  industri  4.0.  yang  diinisiasi  oleh Kementerian Perindustrian. Peta jalan ini menjadi semacam acuan bagaimana  pemerintah,  pelaku  industri  (besar/kecil), akademisi,  dan  masyarakat  luas  menghadapi  potensi-potensi  disruptive  yang  dihasilkan  oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi informasi. Indonesia akan berfokus pada lima sektor utama untuk penerapan awal dari teknologi ini, yaitu kesatu, makanan dan minuman, kedua, tekstil dan pakaian, ketiga, otomotif, keempat, kimia, dan kelima, elektonik. Sektor-sektor ini dipilih menjadi fokus setelah melalui evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup ukuran Produk Domestik Bruto (PDB), perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar.

Keoptimisan yang dibangun pemerintah adalah sebuah keniscayaan yang harus senantiasa dipantik, digugah, digarap dengan seksama dalam menghadapi era masa depan dari kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Ketika konvergensi budaya yang dipicu perkembangan teknologi tak terelakkan, membangun mental yang konstruktif adalah suatu hal yang mutlak. Seperti syair dalam bait lagu Indonesia Raya, Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya. Jiwa dan raga adalah saling berkaitan. Mengadabkan jiwa supaya badannya tidak rusak dan memperkuat badan agar jiwanya senantiasa terbantu.

Banyak hal yang paradoks ketika berbicara hubungan antara manusia dan teknologi. Manusia mampu menciptakan teknologi, tetapi sungguh tidak mampu sepenuhnya mengendalikan dampak dari teknologi tersebut, bahkan tidak sanggup melawannya dan dikalahkan oleh teknologi bernama kecerdasan buatan. Pernah mendengar nama Garry Kasparov?. Yup. Dia adalah seorang jenius dan Grand Master Catur  ternama dunia asal Negara Beruang Merah, Rusia. Kasparov adalah legenda catur paling agresif dan tangguh dalam sejarah catur dunia. Dia memiliki ELO Rating tertinggi dan sempat mencapai 2851 pada tahun 1991. Waktu penulis masih kecil dan duduk di bangku Sekolah Dasar di medio tahun 1980-an, pertarungan klasik yang dimenanginya melawan juara dunia Anatoli Karpov dalam memperebutkan juara dunia catur sering diberitakan melalui stasiun televisi milik Pemerintah.

Tahun 1987, Kasparov pernah menyatakan bahwa tak ada komputer (kecerdasan buatan) yang bisa mengalahkannya. Tahun 1989, dia mengalahkan komputer Deep Thought. Tahun 1996, komputer Deep Blue ia kalahkan. Beranjak pada tahun 1997, superkomputer IBM yaitu versi Deep Blue yang telah diperbarui berhasil mengalahkan Kasparov. Ini adalah pertama kalinya sebuah komputer pernah mengalahkan juara dunia dalam laga tanding. Menariknya lagi majalah Inside Chess merangkainya dalam sebuah kata persis seperti judul film, Armageddon. Bahkan sebuah film dokumenter dibuat menjelaskan pertarungan terkenal itu dengan judul Game Over: Kasparov and the Machine.

Tahun 2003, Kasparov belum mau menyerah. Dia bertanding lagi dengan komputer Deep Junior. Jutaan pemirsa TV menonton Kasparov “berkelahi”. Pertandingan epik Man vs Machine antara Garry Kasparov dan Deep Junior berakhir dengan skor 3-3. Kasparov berkomentar sebagaimana yang dikutip dari Santoso (2013) ”Saya bisa bertahan hanya beberapa tahun. Kemudian mereka akan memenangkan setiap pertandingan, dan mungkin kita harus berjuang hanya untuk memenangkan sebuah pertandingan”. Kasparov tidak kalah, tetapi gagal membuktikan superioritas manusia yang sering ia bicarakan.

Paradoks lainnya terjadi ketika manusia mampu mereka-ulang teknologi, mencipta layanan-layanan dalam perkembangan teknologi tersebut tetapi kadang justru terbentur dengan persoalan etika. Salah satu majalah berita dan peristiwa internasional berbahasa Inggris, The Economist (2018) telah mewawancarai sejumlah tokoh dunia saat ini, salah satunya Sir Tim Berners-Lee. Sir Tim ini adalah seorang inventor dari World Wide Web (www) atau Waring Wera Wanua (istilah Indonesia) yang kita kenal sekarang dan ketua dari World Wide Web Consortium. Tim Berners-Lee berpendapat tentang perkembangan internet dan pernyataanya sebagai berikut “I wouldn’t say the internet has failed with a capital F, but it has failed to deliver the positive, constructive society many of us had hoped for.” Yang kurang lebih dapat diterjemahkan “Saya tidak akan mengatakan internet telah gagal sepenuhnya, tetapi telah gagal untuk menyampaikan hal yang positif dan konstruktif yang tadinya diharapkan”. Seorang sejarawan Britania Raya, Niall Ferguson, dalam bukunya The Square and the Tower (2018), menyatakan bahwa dunia dibentuk oleh dua kekuatan organisasi yang berbeda, yaitu hierarki dan jaringan. Dan internet sebagai cyberspace atau ruang maya terluas telah disusupi hirarki baru dari sejumlah perusahaan raksasa yang tak hanya terjadi di negara Barat, melainkan juga di China. Kalau boleh penulis menganalisisnya dalam pemikiran sederhana, sebuah kelompok berpotensi mendominasi kelompok/masyarakat lain (manusia) dengan teknologi yang dibuatnya.

Oleh sebab itu pemikiran akan hubungan teknologi dan manusia tidaklah selinier yang dibayangkan. Masyarakat technetronic adalah masyarakat yang going forward dan mengalami perubahan budaya yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, elektronik, dan komunikasi. Perlu sentuhan sisi-sisi kemanusiaan di dalamnya agar manusia tidak kehilangan esensi arah dan tujuan dari kehidupannya. Inilah yang disebut oleh Erich Fromm dalam Revolution of Hope nya seperti yang dikutip dari Dimitri Mahayana (1999) bahwa perlunya manajemen humanistik dalam setiap diri manusia, dimana pertama, manusia perlu menyatakan dirinya untuk menjaga keseimbangan mentalnya dan yang kedua adalah perlu adanya mekanisme feedback  di segala lapisan keorganisasian. Lapisan keorganisasian bisa diterjemahkan dari lingkup terkecil yaitu individu, keluarga, komunitas, masyarakat, regional, nasional, dan bahkan internasional. Bersikap non-reseptif terhadap perkembangan teknologi justru berakibat fatal.

Lalu bagaimana menyerap teknologi yang memaksimalkan aspek kemanusiaan secara keseluruhan?. Pertanyaan yang sederhana tetapi perlu kerja keras dan kerja cerdas dalam mewujudkannya. Saya mengambil cuplikan dari buku Menjemput Masa Depan Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global karangan Dimitri Mahayana. Bisa dengan dengan memasukkan unsur empati, emosi, etika, estetika, religi dalam variabel utility dalam teknologi. Atau dengan memperhitungkan seluruh implikasi suatu teknologi baru yang akan dikembangkan untuk manusia. Atau bahkan dengan mengembangkan suatu kesadaran umum tentang nilai-nilai kemanusiaan kepada seluruh objek pelaku pengembang atau pengguna teknologi, sehingga secara otomatis terarahkan menuju hal-hal yang lebih menguntungkan evolusi manusia menuju kesempurnaan.

Cara pandang kita atas pemanfaatan teknologi jauh lebih penting dari perkembangan teknologi itu sendiri. Cara pandang yang diikuti sikap kritis, rendah hati, mengambil waktu jeda dalam hidup kita untuk refleksi, dan wawas diri, adalah praktik yang selalu bisa kita kembangkan dalam menghadapi potensi-potensi disruptive di masa sekarang dan di masa depan. Sebab titik balik peradaban sudah dijelaskan secara eksplisit oleh Allah Yang Maha Kuasa dalam Kitab SuciNya Al Qur’an yaitu ketika adanya sikap masyarakat yang berlebihan dan hedonis dan pimpinan atau elit yang membuat kerusakan di muka bumi. Sama halnya dengan tiga faktor utama yang menentukan daya sintas (survive) negara-negara (peradaban), yang Indonesia ini ada di dalamnya, yaitu faktor mental-spiritual, faktor institusional-politikal, dan faktor material-teknologikal (Yudi Latif, 2018). Jika ranah pertama lazim disebut ranah budaya, sedangkan ranah kedua dan ketiga lazim disebut ranah peradaban. Namun ranah budaya dan ranah peradaban ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Budaya menentukan peradaban, dan peradaban disokong oleh budaya. Teknologi dan kemanusiaan akan menjadi keberkahan jika kita dapat menstimulasinya menjadi peradaban manusia yang berbudaya.

Pontianak. Kamis/Juma't, 27-28 Desember 2018, 15.19 WIB - 06.59 WIB. Antara Sutoyo-Wahidin.

Penulis

Yopie Indra Pribadi, S. Kom, M. Eng Lahir di Pontianak, 18 Juli 1977. Kasi Kerja Sama dan Inovasi Pelayanan, Disdukcapil Kota Pontianak. Seorang penikmat sepakbola yang mengapresiasi filsuf sekaligus inovator dan inventor taktik sepakbola bernama Johan Cruyff, pernah menuntut ilmu Chief Information Officer di UGM, Yogyakarta. Memiliki minat pada membaca, IT policy, e-education, e-government, dan diskusi lintas budaya. Pengalaman di bidang pemerintahan diantaranya pernah bekerja di Kantor Infokom, Bagian Umum Sekda, BKD dan yang paling lama di Disdukcapil Kota Pontianak.

Tags Terkait

Disdukcapil Provinsi Kalimantan Barat Wonderful Borneo Kalbar Kota Pontianak