Telaah Kritis Revolusi Digital : Sindrom Ketidaksadaran Pengguna Internet dalam era Kapitalisme Surveilans, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 21 SEPTEMBER 2023
  • 1142 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_6147672892_kapitalisme_surveilans.jpeg

Revolusi digital adalah gelombang besar perubahan yang telah mengubah wajah dunia kita dalam beberapa dekade terakhir. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, kita telah menyaksikan transformasi luar biasa dalam hampir setiap aspek kehidupan kita. Revolusi ini memiliki dua sisi yang sama-sama kuat: sisi positif yang penuh dengan potensi dan kemungkinan, serta sisi negatif yang mengandung tantangan dan risiko yang serius.

Di satu sisi, revolusi digital telah membawa kita ke era konektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan Internet, kita memiliki akses tak terbatas ke informasi, komunikasi global yang instan, dan peluang baru dalam bisnis, pendidikan, dan hiburan. Inovasi seperti kecerdasan buatan, Internet of Things, dan teknologi medis canggih telah mengubah cara kita bekerja, bermain, dan berinteraksi satu sama lain.

Namun, di sisi lain, revolusi digital juga membawa sejumlah tantangan yang serius. Permasalahan monopoli, alih daya, disrupsi, hilangnya privasi data, keamanan siber, polusi elektronik, dan penyalahgunaan teknologi telah muncul sebagai ancaman yang harus diatasi. Penggunaan teknologi yang tidak etis dan penyebaran berita palsu telah menciptakan ketidakpastian di dunia politik dan sosial. Selain itu, ketidaksetaraan akses terhadap teknologi dapat memperdalam kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Revolusi digital menghasilkan kapitalisme baru dalam mengontrol dan mengarahkan perilaku masyarakat.

Kapitalisme baru ini bernama kapitalisme surveilans yang merujuk pada bentuk pasar yang baru dan logika akumulasi modal yang sangat spesifik yang muncul bersamaan dengan perkembangan fenomena kapitalisme digital. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, surveilans memiliki arti pengintaian. Terminologi kapitalisme surveilans diperkenalkan oleh Shosana Zuboff, seorang Profesor Emeritus dari Charles Edward Wilson Harvard Business School. Dalam esainya yang terbit pada tahun 2014, A Digital Declaration: Big Data as Surveillance Capitalism, dimana ia menggambarkan kapitalisme surveilans sebagai “a radically disembedded and extractive variant of information capitalism" based on the commodification of "reality" and its transformation into behavioral data for analysis and sales” yang dapat diterjemahkan menjadi varian yang secara radikal terlepas dan mengekstraksi dari kapitalisme informasi berdasarkan komodifikasi "realitas" dan transformasinya menjadi data perilaku untuk analisis dan penjualan.

Dalam konteks "terlepas" merujuk pada pemisahan yang mendalam dari konteks sosial atau etika, sedangkan "mengekstraksi" mengacu pada proses pengambilan atau eksploitasi sumber daya (dalam hal ini, data informasi) dengan cara yang intensif. Jadi, istilah ini menggambarkan bagaimana kapitalisme surveilans merupakan bentuk kapitalisme informasi yang sangat terpisah dari norma sosial dan ekstraktif dalam pengumpulan data untuk keuntungan ekonomi.

Komodifikasi "realitas" dan transformasinya menjadi data perilaku untuk analisis dan penjualan adalah ungkapan yang menggambarkan proses di mana konsep realitas atau pengalaman manusia diubah menjadi komoditas (benda yang dapat diperdagangkan) dan kemudian diambil untuk diubah menjadi data perilaku yang dapat digunakan untuk tujuan analisis dan penjualan. Dalam konteks ini, "komodifikasi" mengacu pada pengubahan sesuatu yang awalnya tidak dapat diperdagangkan menjadi objek yang dapat diperdagangkan. "Realitas" di sini mengacu pada pengalaman, informasi, dan data yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari manusia. Transformasi "realitas" menjadi "data perilaku" merujuk pada pengambilan informasi tentang bagaimana orang berperilaku, mengambil keputusan, atau berinteraksi dalam situasi tertentu.

Data perilaku ini dapat digunakan untuk analisis, yang berarti menggali informasi dan wawasan dari data tersebut untuk pemahaman yang lebih baik tentang perilaku pengguna. Selain itu, data ini dapat digunakan untuk tujuan penjualan, yang berarti menjual atau memanfaatkan informasi ini untuk mengarahkan iklan atau produk kepada individu atau kelompok tertentu berdasarkan pemahaman tentang perilaku mereka. Ungkapan ini mengacu pada praktik di mana informasi tentang realitas atau pengalaman manusia digunakan sebagai komoditas untuk menghasilkan data perilaku yang dapat digunakan sebagai bahan analisis dan pemasaran.

Review yang terkait kapitalisme surveilans dari buku karangan Zuboff lain yaitu The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power" (2019) yang dikutip dari Warta Ekonomi (2019) yaitu pengguna internet diawasi bukan karena mengancam atau berbahaya, tetapi justru sebaliknya karena dibutuhkan dan didambakan sebagai pemasok data dan obyek periklanan bagi korporasi raksasa yang berbasis pada rekayasa big data dan teknlologi cloud. Obyek pengawasan itu bukan kelompok tertentu, melainkan hampir semua orang tanpa terkecuali sejauh terkoneksi dengan internet. Pengawasan dilakukan tidak dengan peralatan yang sangat eksklusif, mahal dan jarang, tetapi dengan peralatan yang dimiliki hampir semua orang, yaitu telepon genggam.

Dikutip dari Sudibyo (2021), Kapitalisme surveilans mampu menghipnotis masyarakat untuk terus menerus menambah jam penggunaan internet, mengunduh semakin banyak aplikasi, mengunjungi semakin banyak web, dan menggunakannya untuk beragam kebutuhan hidup. Tujuan akhir dari kapitalisme adalah mendesak mengubah perilaku manusia secara mendalam dan dalam skala yang besar. Perubahan perilaku ini menyebabkan timbulnya sindrom ketidaksadaran, seperti lupa waktu, lupa biaya, lupa konteks, lupa diri, lupa keluarga inti, sehingga senantiasa secara reflek memeolototi telepon pintar dan mengakses internet.

Akibat sindrom ketidaksadaran yang menjebak masyarakat yaitu pengguna internet dalam kapitalisme surveilans menyebabkan terjadinya beberapa hal sebagai berikut, yaitu:

Pertama, terancamnya privasi data. Banyak pengguna internet tidak sepenuhnya memahami konsep privasi data. Mereka mungkin tidak tahu bahwa data mereka, seperti riwayat pencarian, lokasi, penggunaan kuki, atau penggunaan metode analitik perilaku online, dapat digunakan oleh perusahaan untuk menyusun profil mereka dan mengarahkan iklan. Akibatnya, mereka mungkin tidak menyadari sejauh mana privasi mereka terancam dan tidak menyadari bagaimana mengambil tindakan untuk melindungi data mereka.

Kedua, adanya akttifitas eksploitasi data. Dalam kapitalisme surveilans, data adalah aset berharga. Perusahaan teknologi sering mengumpulkan data pengguna untuk memahami lebih baik perilaku pengguna dan mengarahkan iklan dengan lebih efektif. Namun, dalam beberapa kasus, data ini dapat dieksploitasi dengan cara yang tidak etis. Misalnya, pengguna mungkin tidak menyadari bahwa profil mereka digunakan untuk mempengaruhi pemilihan politik atau perilaku konsumen.

Ketiga, transparansi yang buruk. Banyak perusahaan teknologi tidak transparan dalam hal pengumpulan dan penggunaan data. Kebijakan privasi sering kali rumit dan sulit dimengerti, yang membuat pengguna kesulitan memahami bagaimana data mereka akan digunakan.

Keempat, manipulasi perilaku. Kapitalisme surveilans sering kali berfokus pada memaksimalkan keterlibatan pengguna dan menghabiskan lebih banyak waktu di platform online. Ini dapat menghasilkan perilaku kecanduan atau gangguan dalam penggunaan teknologi digital, dan banyak orang mungkin tidak selalu menyadari bagaimana platform digital mempengaruhi pola konsumsi mereka, kesehatan mental, atau waktu yang mereka habiskan secara online.

Kelima, diskriminasi algoritma. Karena sebagian besar kapitalisme surveilans beroperasi dalam lapisan yang lebih dalam dan tidak terlihat, penggunaan algoritma yang digunakan dalam ekosistem digital dapat menciptakan bias yang tidak disadari terhadap kelompok tertentu, seperti ras atau gender. Ini bisa berdampak negatif pada pengguna yang termasuk dalam kelompok tersebut, dan pengguna mungkin tidak menyadari bahwa mereka menjadi sasaran diskriminasi algoritma yang mungkin sulit untuk diidentifikasi.

Literasi digital dan kesadaran diri

Revolusi digital yang digaungkan dan diagungkan oleh manusia saat ini menawarkan solusi sekaligus melahirkan masalah baru, membawa kebebasan sekaligus secara laten menghadirkan pengendalian, mendorong semua orang untuk menjadi autentik dan mandiri, sekaligus menyembunyikan motif instrumentalisasi atas semua orang.

Sindrom ketidaksadaran dalam era kapitalisme surveilans adalah masalah yang kompleks dan penting. Penting bagi perusahaan teknologi untuk meningkatkan kesadaran akan potensi bias dalam data dan sistem mereka. Hal ini memerlukan audit rutin terhadap algoritma dan praktik pengumpulan data untuk mengidentifikasi dan mengoreksi bias yang tidak disadari. Selain itu, masyarakat juga harus mendesak untuk transparansi lebih lanjut dalam penggunaan data mereka dan menuntut perlindungan privasi yang kuat. Dengan cara ini, ekosistem digital yang lebih adil, aman, dan bebas dari bias yang merugikan dapat mencapai keseimbangannya.

Untuk mengatasi sindrom ketidaksadaran ini, penting untuk meningkatkan literasi digital dan kesadaran diri tentang bagaimana data pribadi digunakan dalam ekosistem digital. Ini melibatkan tindakan seperti membaca dan memahami kebijakan privasi dari layanan online yang digunakan, mengontrol pengaturan privasi untuk membatasi pengumpulan dan penggunaan data pribadi, menggunakan tools pengamanan dan penyaringan iklan untuk mengurangi pengaruh iklan dan memahami regulasi dan undang-undang yang melindungi privasi data. Literasi dan kesadaran untuk 'Menjadi bagian dari entitas kearifan yang dapat menerapkan rasionalitas konteks dengan menyerap informasi yang relevan, memiliki pemahaman yang lebih mendalam, serta bijak dalam memberikan respons, gesit dalam mengambil tindakan yang memang membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, hal itu lebih dapat berkontribusi dalam membangun kemaslahatan bagi lingkungan secara nyata'. (Pribadi, 2022). 

Beberapa rujukan:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahsa, Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/surveilans

Pribadi, Yopie Indra, Literasi Digital Manusia Indonesia, https://disdukcapil.pontianak.go.id/literasi-digital-manusia-indonesia-ditulis-oleh-yopie-indra-pribadi , 2022

Sudibyo, Agung, Jagat Digital Pembebasan dan Penguasaan, Jakarta KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), cetakan kedua, April 2021.

Warta Ekonomi, Apa Itu Surveillance Capitalism?, https://wartaekonomi.co.id/read228200/apa-itu-surveillance-capitalism, 2019.

Zuboff, Shoshana (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs. ISBN 9781610395694. OCLC 1049577294.

Zuboff, Shoshana, A Digital Declaration: Big Data as Surveillance Capitalism". FAZ.NET (in German). ISSN 0174-4909. Archived, 2014.