Yuk, Peduli Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja, ditulis oleh Yopie Indra Pribadi

  • BY YOPIE
  • ON 06 SEPTEMBER 2022
  • 1823 DIBACA
  • ARTIKEL
https://disdukcapil.pontianak.go.id/public/uploads/images/posts/mPosts_1466287087_mental_health_in_workplace_._yopie.jpg

Di tengah disrupsi teknologi yang serba cepat (atau dipaksa cepat?), volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas kondisi yang terjadi, dan melimpahnya penawaran kebebasan di media, pengelolaan diri serta pengendalian ekspektasi menjadi sangat penting, tak terkecuali bagi pekerja. Kondisi tersebut membutuhkan adaptasi dan cara belajar yang tak biasa. Pekerja dituntut untuk bisa berpikir luas, cepat menyerap informasi, cepat dalam merespon sesuatu dan dapat melakukan lebih dari satu pekerjaan atau multitasking dalam waktu bersamaan.

Meski pada awalnya cara tersebut sangat bagus, seiring dengan berjalannya waktu, potensi stress akan timbul dan jika tidak ditangani dengan baik, maka dapat berujung pada gangguan kesehatan mental. Beberapa contohnya seperti mudah marah, baper, khawatir yang berlebihan dikarenakan dikejar tenggat waktu pekerjaan, terlalu serius dan fokus dalam bekerja sehingga kehilangan selera humor, mudah merasa kesepian, over thinking, traumatik berlebihan karena kesalahan yang pernah dilakukan, depresi dan kelelahan mental dikarenakan keharusan menyelesaikan target kerja yang disusun sedemikian rupa. Hal ini jika dibiarkan malah dapat menyebabkan toksik dalam organisasi (baca tulisan tentang toksik di organisasi).

Kesehatan mental mengacu pada kondisi sehat secara menyeluruh dimana setiap individu sadar akan kemampuannya dan dapat mengatasi tekanan hidup serta dapat belajar dan bekerja secara produktif dan memberikan kontribusi bagi komunitas mereka. Kesehatan mental yang dialami oleh orang berbeda dari satu dengan yang lain, dengan berbagai tingkat kesulitan dan potensi hasil sosial dan klinis yang sangat berbeda. Kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar dan itu sangat penting untuk pengembangan pribadi, masyarakat dan sosial-ekonomi.

Hasil penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2019) menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar 1 trilyun USD setiap tahunnya akibat hilangnya produktivitas sumberdaya manusia. Terganggunya kesehatan mental dapat mempengaruhi performa kerja dan produktivitas, hubungan antar rekan kerja, kemampuan fisik, dan sehari-hari seseorang baik di tempat kerja maupun rumahnya. Dibanding dengan generasi baby boomers, generasi milenial atau generasi Z lebih melek dengan kesehatan mental. Untuk Indonesia, jika akan mengejar generasi emas di tahun 2045, maka sumberdaya manusia Indonesia harus sehat secara fisik, intelektualitasnya, dan juga kejiwaannya.

Beberapa faktor eksternal penyebab terganggunya kesehatan mental di lingkungan kerja adalah sebagai berikut:

  1. Komunikasi dan sistem manajemen yang buruk.
  2. Tekanan-tekanan konstan dari atasan dan kolega seakan mencap diri mereka sebagai robot pekerja.
  3. Menegasikan kelemahan kelemahan manusiawi.
  4. Tujuan organisasi dan tugas-tugas yang kurang jelas.
  5. Rendahnya dukungan kepada dan antar pegawai.
  6. Jam kerja yang terlalu mengikat hingga menganggu kehidupan pribadi.
  7. Terbatasnya ruang berekspresi dan perbedaan pendapat dianggap sebagai lawan.
  8. Kondisi pekerjaan yang terlalu serius atau tidak ada humor atau jokes yang mendobrak ke-monoton-an rutinitas kantor.
  9. Eksklusivitas keputusan atau kesempatan berpartisipasi hanya pada segolongan pegawai saja.
  10. Kultur otoriter yang dikembangkan.
  11. Penugasan yang tidak tepat bagi kompetensi individu pegawai.
  12. Perisakan bahkan perundungan antar pegawai.
  13. Beban kerja yang ekstrim.
  14. Tidak amannya lingkungan kerja.
  15. Pelecehan secara verbal dan non verbal.
  16. Perlakuan yang tidak adil.

Namun secara individu, juga perlu dicermati adanya faktor internal dari dalam diri yang juga berbahaya karena dapat merusak mental, seperti:

  1. Mudah menjadi marah ketika orang tidak memperhatikan hal-hal penting yang sudah dilakukan.
  2. Merasa ditinggalkan oleh rekan-rekan.
  3. Merasa perlu untuk "memperbaiki" orang lain.
  4. Terus membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
  5. Selalu merasa orang lain tidak mendengarkan dirinya.
  6. Merasa perlu menjelaskan diri secara berlebihan.

Organisasi memiliki tanggungjawab untuk mendukung kesehatan mental masing-masing pegawainya dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan jauh dari faktor-faktor eksternal penyebab terganggunya kesehatan mental. Hal itu bisa dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:

  1. Membuka peran serta para karyawan atau staf dalam memberikan kontribusi pemikiran untuk kemajuan organisasi.
  2. Mempromosikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan yang sehat.
  3. Menyediakan waktu berkumpul bersama di luar jam kantor seperti melaksanakan olahraga bersama, melakukan outbound atau acara yang bersifat rekreatif lainnya.
  4. Membangun budaya saling menghargai, saling mengingatkan dan empati, dan juga membangun sistem penghargaan bagi atas kontribusi karyawan.
  5. Faktor yang terakhir ini lebih kepada kepemimpinan di organisasi. Setiap pimpinan mempunyai tipikal yang berbeda dan punya caranya masing-masing dalam memimpin organisasi. Namun ketika seorang pimpinan itu selalu membuka kran komunikasi yang baik, memiliki attitude yang tenang, bisa membimbing dan bukan hanya memerintah (be a leader not a boss), dapat memberikan pandangan mengenai tujuan dan ekspektasi organisasi, dan bisa memberikan dan meminta feedback dari kerja yang dilakukan, maka rasa hormat secara tulus akan diberikan oleh bawahan yang berdampak pada kesehatan mental organisasi secara keseluruhan. Apalagi jika kepepimpinan itu ditunjang dengan sifat kuat dan tegas namun rendah hati.

Lalu bagaimana seorang individu dapat melindungi dirinya dalam kapasitasnya sebagai pekerja di dalam sebuah organisasi. Berikut ini adalah beberapa cara untuk bertanggungjawab atas kesehatan mental masing-masing orang seperti:

  1. Biasakan hidup yang sehat fisik dan psikis seperti berolahraga teratur sesuai usia, mengatur pola makan yang seimbang, istirahat yang berkecukupan, punya waktu untuk me time, dan memiliki waktu meditatif dan kontemplatif setiap hari.
  2. Tingkatkan coping skill atau kemampuan beradaptasi dan juga kemampuan menghadapi stres untuk mendorong diri agar tetap percaya diri.
  3. Pahami diri punya keterbatasan sehingga meyakini bahwa penting untuk meminta pertolongan pada orang lain ketika sudah merasa tidak mampu menghadapi suatu hal seorang diri.
  4. Setiap saat latih diri untuk berpikiran terbuka dan positif, karena Tuhan menciptakan manusia dengan karakter yang unik dan berbeda-beda maka penting bagi masing-masing individu berusaha menerima keunikan dan perbedaan tersebut tanpa memberi stigma.
  5. Belajar membiasakan diri untuk tidak terlalu cepat menilai atau mengambil kesimpulan.
  6. Fokuslah untuk menghabiskan waktu bersama-sama orang yang membuat kita merasa disertakan.
  7. Identifikasi perasaan yang muncul ketika memiliki keinginan membantu orang lain dan kerjakan sesuai batasan kemampuan kita.
  8. Berhentilah melihat-melihat telepon seluler untuk melihat informasi yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang justru membebani pikiran. 
  9. Kita hanya dapat melihat satu sisi dari kehidupan seseorang. Diri Anda berbeda, tidak lebih baik atau lebih buruk dari dia dan mereka.
  10. Ingatkan diri bahwa kita tidak berhutang alasan atau penjelasan apapun kepada siapapun atas perasaan yang dimiliki.
  11. Menciptakan humor atau sesuatu yang lucu untuk membuat orang lain bahagia adalah sebuah ide yang baik. Melibatkan humor pada sela sela pekerjaan adalah langkah efisien dalam rangka mengurangi tingkat stres para pekerja tanpa mengurangi konsentrasi pada pekerjaan. Membuat humor yang berkelas dengan tidak menyinggung batasan seperti masalah seksual dan SARA. Suatu anugrah bagi manusia untuk bisa tertawa.

Selain dari poin-poin di atas tadi, yang harus disadari oleh kita adalah bahwa kita tidak selalu konsisten dan mengalami turun naiknya level mood. Luangkan waktu setiap sehari beberapa menit untuk fokus pada setiap tarikan dan helaan nafas kita, untuk bersyukur, melonggarkan ketegangan urat syaraf dan merasakan bahwa kita masih diberikan nikmat hidup. Mengambil jarak dan melepaskan sesuatu yang sebenarnya adalah “bukan esensi diri” seperti pekerjaan, permasalahan ataupun kegaduhan di luar sana (medsos, informasi-informasi tidak penting lainnya) agar menjauh, dengan harapan kita bisa mendapatkan esensi diri kita kembali. Kembali kosong dan membumi. Jangan mengotomatiskan pikiran kita dan menjadikan tubuh kita seperti layaknya mesin.  

Belajar untuk tidak membiarkan energi kita terfokus pada menyalahkan diri sendiri dan kesalahan yang dilakukan orang lain yang malah justru menyebabkan rangkaian bencana lainnya terjadi. Belajar membuat ruang pemaafan di dalam diri dan ruang kosong di hati untuk siap ketika dibenci atau diperlakukan tidak wajar oleh orang lain dan jangan terlalu menuntut kesempurnaan. Dengan memberi ruang tersebut, maka paling tidak mental kita terasah, tidak baperan dan kesehatannya tetap terjaga dan diri kita tetap punya ruang untuk bertumbuh.  Tidak ada jalan lain selain selalu bersyukur karenaNya dan bersabar karenaNya. Mudah diucapkan namun perlu perjuangan untuk melakukannya. Semoga dengan hal tersebut pintu RahmatNya selalu terbuka buat kita. Aamiin. 

Jadi, yuk, kita mulai peduli dengan kesehatan mental di lingkungan kerja kita. (yip)

Penulis :

Yopie, dari belakang meja. 6-7 September 2022

Beberapa rujukan

Afina, Shabira, Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja,  Senin 7 Desember 2020, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13552/Kesehatan-Mental-di-Lingkungan-Kerja.html , Artikel DJKN

Binus Online Learning, 5 Tips Menjadi Pemimpin yang Baik, 24 Juni 2021, https://onlinelearning.binus.ac.id/2021/01/24/5-tips-menjadi-pemimpin-yang-baik/

Dwiputri, Agustine, Invalidasi Emosional, Rubrik Psikologi, Akhir Pekan Harian Kompas halaman 13, Sabtu 3 September 2022, halaman 13

Himpunan Psikologi Indonesia, Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa Ke-5 Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi di Indonesia Term of Reference Dasar Pemikiran, 22 Juni 2020, https://himpsi.or.id/web/content/2735

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto, Kesehatan Mental di Tempat Kerja, Membuat Rencana Kesehatan Mental Untuk Tempat Kerja, 6 November 2021, https://ilkom.amikompurwokerto.ac.id/membuat-rencana-kesehatan-mental-untuk-tempat-kerja/

Makronesia.id, Editor,Pentingnya Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja, 24 Februari 2021, https://www.makronesia.id/pentingnya-kesehatan-mental-di-lingkungan-kerja/  

Millenia, Mita, Minimnya Kesadaran Masyarakat terhadap Mental Health, https://sardjito.co.id/2022/03/09/minimnya-kesadaran-masyarakat-terhadap-mental-health/,  Humas Sardjito, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Mengelola Diri Untuk Jiwa Prima, Halaman 1 Harian Kompas, Jumat 19 Agustus 2022

Nugraha, Rizky, Penggunaan Humor di Tempat Kerja, Program Studi D3 – Bahasa Inggris,Jurusan Bahasa Inggris, Politeknik Negeri Bandung, https://www.academia.edu/37019680/Penggunaan_Humor_di_Tempat_Kerja

Seribu Tujuan, Kontributor, Solusi kesehatan mental untuk Indonesia, https://www.seributujuan.id/id/kesehatan-mental-di-tempat-kerja

WHO, Mental health: strengthening our response, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response, 17 June 2022